Kota Malang, SeputarMalang.Com – Abu Hanifah, Ketua Kelompok Sukarelawan Pekerja Migran Indonesia (Kawan PMI) Malang, mengungkapkan sejumlah kendala yang dihadapi oleh calon pekerja migran Indonesia, terutama terkait dengan proses pelatihan di Lembaga Pelatihan Kerja Luar Negeri (LPK-LN). Hal ini diungkapkannya ketika ditemui awak media SeputarMalang.Com pasca melakukan koordinasi di kantor Pos Pelayanan Pekerja Migran Indonesia (P4MI) Malang, pada 5 Desember 2024.
Abu Hanifah menjelaskan, saat ini calon pekerja migran diwajibkan mengikuti pelatihan di LPK-LN sebelum melanjutkan ke tahapan berikutnya, termasuk pemilihan perusahaan penempatan (P3MI) yang sesuai dengan pekerjaan dan negara tujuan. Namun, ia menyoroti adanya masalah dalam sistem pelatihan yang ada.
“Proses dan biaya pelatihan calon pekerja migran saat ini tidak memiliki koridor peraturan yang jelas, sehingga memungkinkan LPK-LN untuk memainkan waktu dan tarif pelatihan,” ujarnya.
Menurut Abu Hanifah, LPK-LN sering kali mematok tarif pelatihan yang jauh di atas batas kewajaran. Selain itu, ketidaktransparanan mengenai biaya pelatihan menjadi masalah utama. Calon pekerja migran sering kali terjebak dalam situasi di mana mereka harus membayar tarif yang sangat tinggi setelah pelatihan selesai, dengan model pembayaran melalui potongan gaji.
“LPK-LN terkesan memanfaatkan ketidaktahuan, kebutuhan mendesak, serta ketidakmampuan peserta dengan menerapkan tarif tinggi setelah pelatihan selesai,” lanjutnya.
Hal ini, kata Abu Hanifah, telah merugikan banyak pekerja migran yang merasa terjebak dan tidak memiliki pilihan selain membayar biaya yang besar. Sayangnya, Kawan PMI sendiri tidak dapat banyak membantu, karena masalah biaya pelatihan ini berada di luar kewenangan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), melainkan di bawah pengawasan Dinas Tenaga Kerja Provinsi.
“Seharusnya ada aturan yang jelas oleh Dinas Tenaga Kerja Provinsi mengenai batas atas biaya ini. Sebagai perbandingan, di BP2MI terdapat keputusan Kepala Badan yang mengatur biaya penempatan pada beberapa negara, sehingga perusahaan penempatan tidak dapat menarik biaya yang terlalu tinggi dan di luar kewajaran”, ujarnya.
Lebih lanjut, Abu Hanifah menekankan pentingnya adanya regulasi yang jelas terkait biaya pelatihan bagi calon pekerja migran. Tanpa adanya aturan yang mengatur batas atas biaya pelatihan, oknum-oknum LPK-LN seringkali memanfaatkan celah ini untuk mencari keuntungan dengan cara yang tidak manusiawi, memberatkan peserta yang ingin bekerja di luar negeri dengan biaya pelatihan yang sangat tinggi.
Kawan PMI Malang berharap di era pemerintahan yang baru ini, Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia/Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia yang saat ini dipimpin oleh Abdul Kadir Karding, dapat segera mengeluarkan kebijakan yang mengatur urusan terkait pekerja migran dari hulu ke hilir. Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan tidak akan ada lagi kerancuan yang membingungkan masyarakat, khususnya di kalangan calon pekerja migran.
Hanifah juga menegaskan, pengelolaan urusan pekerja migran yang terpusat di satu lembaga akan memberikan kemudahan dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat, serta memberikan pelindungan yang lebih baik bagi para pekerja migran Indonesia.