SeputarMalang.Com – SELAMA ini, sistem pendidikan Indonesia dikelola di dalam suatu sistem birokrasi dengan mata rantai yang panjang, mulai dari tingkat kementerian dengan perangkat birokrasinya, provinsi dengan perangkat birokrasinya, kabupaten dengan perangkat birokrasinya, hingga sekolah yang pada kenyataannya juga sudah menjadi sistem birokrasi tersendiri. Pakem yang digenggam erat-erat ini membuat sistem pendidikan kita menjadi terpuruk, bahkan tidaklah berlebihan jika dikatakan sebagai “biang keladi” terjadinya (jika ada) gejala pendangkalan intelektual dalam sistem pendidikan kita.
Sejatinya, pemerintah bukanlah eksekutor pendidikan, namun lebih berperan sebagai regulator, facilitator, reward provider, atau performance applauder (John Gray et al., 2011). Pertanyaannya, adakah sistem selain birokrasi yang dapat lebih berperan dalam mengelola pendidikan?Tentu ada, yaitu sistem profesional.Pendidikan di negara maju umumnya dikelola secara profesional, oleh orang-orang yang profesional, dan dalam mekanisme ketenagaan dan institusi yang profesional pula.Jika ada ungkapan yang mengatakan bahwa pemerintah mengeksekusi pendidikan nasional, itu adalah ungkapan yang menyiratkan bahwa kita telah gagal memahami hakikat pendidikan yang paling hakiki.
Jika bukan pemerintah, lalu siapakah yang menjadi eksekutor pendidikan? Dalam sistem yang profesional misalnya, guru bukanlah bawahan kepala sekolah, karena guru adalah jabatan profesional yang tidak dapat ‘diganggu’ kepala sekolah yang perilakunya mirip seperti seorang birokrat. Fungsi kepala sekolah seharusnya bukan sebagai birokrat, melainkan seorang pemimpin profesional yang memberikan fasilitas dan melayani guru agar dapat mengajar dengan kompetensi profesionalnya yang bermutu. Sehubungan dengan ini, kepala sekolah pun seharusnya bukan bawahan kepala dinas, karena kepala sekolah seharusnya adalah pimpinan yang profesional dan lebih mengetahui keadaan serta permasalahan sekolahnya. Pengembang kurikulum bukanlah bawahan menteri, karena menteri tidak akan pernah memahami detail tentang mana kurikulum yang baik dan mana yang kurang baik, dan seterusnya. Dengan iklim profesional inilah sistem meritokrasi dapat bekerja secara perlahan tetapi pasti menuju perwujudan pendidikan yang bermutu.
Hanya kebijakan berbasis merit yang dapat menjamin transformasi pembelajaran. Analisis ini diilhami teori meritokrasi dalam analisis kebijakan pendidikan.Meritokrasi bukanlah konsep yang baru, sebagaimana telah dibahas tuntas oleh John Gray et al. sejak 40 tahun yang lalu (Karabel dan Halsey, 1977).Meritokrasi adalah sebuah konsep kebijakan pendidikan yang berkembang sejak akhir abad ke-20 di Amerika Serikat, setelah munculnya gerakan yang disebut technological society pada pertengahan abad ke-20 di Eropa.Gerakan ini menolak gejala politisasi dan birokratisasi dalam pengelolaan pendidikan; sekaligus mengajukan alternatif, yaitu keahlian dan profesionalisme, yang seharusnya menjadi penentu kebijakan yang bermutu.
Malaysia terkenal sebagai salah satu negara yang sukses menjadikan pendidikan sebagai barometer untuk memajukan bangsa.Sementara itu, di Indonesia justru terjadi perdebatan yang cukup panjang perihal implementasi pasal 31 ayat (4) UUD 1945.Perdebatan itu mempermasalahkan apakah anggaran pendidikan minimal 20% itu termasuk gaji guru dan pendidikan kedinasan atau tidak.Akhirnya, diputuskan untuk memasukkan kedua mata anggaran yang jumlahnya paling besar tersebut ke dalam 20% anggaran pendidikan. Padahal, tanpa harus melakukan perdebatan apa pun, Malaysia telah menempatkan dirinya sebagai salah satu negara dengan anggaran pendidikan tertinggi di dunia tidak lama setelah terlepas sebagai koloni Inggris. Saat Indonesia masih mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 3,9% dari APBN (Boediono dan McMahon, 1992), Malaysia telah mengukir prestasi yang sungguh mengesankan dengan mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 21%dari APBN, atau lebih dari 5% dari PDB. Keberuntungan seperti ini belum pernah dijumpai di Indonesia selama periode 7 (tujuh) periode kepemimpinan nasionalnya.
Dengan basis anggaran yang besar, Malaysia bukan hanya berhasil membentuk guru yang profesional dan kesejahteraan yang memadai, membangun sarana/prasarana pendidikan yang modern, serta mewujudkan proses pembelajaran yang bermutu, tetapi juga sukses dalam mewujudkan kultur meritokrasi pendidikan. Bagi Malaysia, meritokrasi adalah keniscayaan, sehingga pengelola dan penyelenggara pendidikan harus profesional dan diperankan oleh mereka yang ahli di bidangnya.Iklim meritokrasi juga tampak dalam sistem pengangkatan guru, tenaga kependidikan, pejabat pendidikan, bahkan menteri pendidikan di Malaysia.Hebatnya, hampir semua perdana menteri Malaysia sebelumnya telah menjabat sebagai menteri pendidikan.Dengan demikian, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa meritokrasi dalam pengelolaan pendidikan nasional adalah tiket yang paling cepat dan ampuh untuk meraih keunggulan bangsa.
Untuk mewujudkan meritokrasi dalam pengelolaan pendidikan, Indonesia perlu mengikuti jejak Malaysia.Pada negara-negara maju, pendidikan diperlakukan sebagai sektor teknis dan profesional ketimbang birokratis atau politis, seperti halnya sektor kesehatan, perindustrian, pertanian, pertambangan, minyak dan gas bumi, dan sebagainya. Menteri atau kepala dinas akan lebih mudah membangun sektor pendidikan jika menteri, para pejabat pendidikan negeri, dan kepala-kepala dinasnya benar-benar ahli dan profesional di bidang pendidikan. Meritokrasi dalam pendidikan nasional akan benar-benar terwujud jika pengangkatan menteri pendidikan dilakukan atas pertimbangan faktor keahlian (merit system) ketimbang faktor politis (political appointment).
Meritokrasi dalam pengelolaan pendidikan nasional diperlukan untuk mewujudkan layanan pendidikan yang adil, bermutu, berdaya saing, dan relevan dengan kebutuhan berbagai bidang pembangunan. Rumusan tujuan ini dengan mudah akan dapat dipahami oleh pemimpin yang ahli dan profesional di bidangnya, karena mereka memiliki wawasan dan kearifan yang lebih tinggi untuk memanifestasikan rumusan tersebut ke dalam kebijakan dan program yang bermutu. Hingga diselenggarakannya periode pemerintahan ini, masih cukup banyak kebijakan pendidikan yang dinilai kurang bermutu dan berwawasan, bahkan berisiko gagal dalam menghindari kekeringan intelektual dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Keunggulan produk:
- Ditulis oleh Ace Suryadi, seorang akademisi di bidang pendidikan yang telah banyak berkontribusi untuk kemajuan kebijakan pendidikan di Indonesia.
- Pembahasan secara komprehensif mengenai sebuah pembaruan dalam penyelenggaraan sistem pendidikan Indonesia sebagai langkah awal dalam mengarahkan Indonesia yang siap menjadi masyarakat global dan mampu menyongsong pembelajaran abad 21, yakni melalui sistem meritokrasi.
- Disampaikan secara mendalam dan mudah dimengerti, sehingga dapat dipahami oleh berbagai pihak, mulai dari pejabat pendidikan hingga masyarakat umum.
Kode Buku : 3083701130
ISBN : 9786026847812
Judul Buku : MEMBANGUN MERITOKRASI PENDIDIKAN INDONESIA
Penulis : ACE SURYADI
Jumlah Halaman : 360 Halaman