SeputarMalang.Com – Indonesia adalah sebuah negara yang sangat subur makmur, tata titi tentrem karta raharja, memiliki banyak suku, bangsa, budaya, adat, kekayaan alam dan laut yang sangat banyak.
Setiap daerah yang ada di wilayah Indonesia memiliki beraneka macam kekayaan sendiri-sendiri. Seperti halnya perkara pakaian adat, semuanya memiliki ciri khas masing-masing dan filosofinya masing-masing yang sangat mendalam. Apabila dalam pakaian adat atau pakaian daerah antara satu dengan yang lainnya ada sebuah kesamaan, pasti terdapat ciri khusus atau tanda lain yang membuat berbeda.
Salah satu pakaian adat masyarakat jawa yang pasti sudah tidak asing lagi kita lihat dan dengar namanya, Blangkon. Blankon dan penggunaannya ternyata memiliki makna filosofis yang sangat mendalam bagi masyarakat Jawa. Benda satu ini bukan hanya menjadi sebuah penutup kepala dan fashion.
Blangkon berasal dari kata ‘blangko’, istilah yang dipakai oleh masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang siap pakai. Dulunya blangkon tidak berbentuk bulat dan siap dipakai, melainkan sama seperti ikat kepala lainnya yakni melalui proses pengikatan yang cukup rumit. Seiring berjalannya waktu, maka tercipta inovasi untuk membuat ikat kepala siap pakai yang selanjutnya dijuluki sebagai blangkon. Pembuatan blangkon pada zaman dahulu hanya dilakukan oleh para seniman yang ahli dalam pakem ikat. Makin Blangkon tersbeut memenuhi pakemnya, makin tinggi juga nilai blangkon tersebut.
Catatan Sejarah
Jika ditinjau dari catatan sejarah yang menyebutkan secara pasti asal muasal masyarakat Jawa menggunakan ikat kepala, tidak ada yang menyebutkan. Namun penutup kepala yang berupa kain yang diikatkan melingkar di kepala dengan bagian atasnya terbuka ini sudah sejak zaman dulu digenakan masyarakat Jawa.
Penggunaan ikat kepala ini sudah disebutkan sejak awal terbentuknya budaya Jawa. Pertama kali disebutkannya yakni dalam kisah Aji Saka sekitar 30 Abad yang lalu. Aji Saka sering dikenal masyarakata Jawa sebagai salah seorang yang merumuskan dan menciptakan penanggalan kalender Jawa.
Dalam sebuah kisah legenda tersebut, Aji Saka berhasil mengalahkan raksasa penguasa tanah Jawa yang bernama Dewata Cengkar dengan membentangkan ikat kepala yang pada akhirnya mampu menutup seluruh tanah Jawa. Namun ada juga yang beranggapan bahwa budaya menggunakan penggunaan penutup kepala disebabkan akuturasi budaya Hindu dan Islam oleh orang Jawa.
Berdasarkan catatan sejarah bahwa penyebaran agama Islam di mulai dari tahun 665 Masehi oleh Rombongan yang dipimpin kedua Menantu Rosulullah Saw yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib, yang datang ke Nusantara untuk mempelajari Ilmu Tata Negara dan Tata Niaga kepada seorang penguasa kerajaan bernama Ratu Shima di kerajaan Kalingga.
Namun pada saat itu dakwa Islam yang mereka bawah masih belum mampu meng-Islam-kan masyarakat. Sehingga masih sedikit jumlah masyarakat yang memeluk agama Islam, karena saat itu masyarakat sudah memiliki agama dan keyakinan yaitu Hindu dan Budha.
Rombongan yang dipimpin oleh kedua Menantu Rosulullah tersebut kerap terlihat memakai kain yang lebar dan panjang yang digulung atau diikat memutar di kepala yakni Surban. Hal tersebut menginspirasi masyarakat Jawa, sehingga mereka mulai memakai ikat kepala seperti orang-orang Arab pada tersebut.
Mutiara Blangkon
Blangkon dalam kehidupan masyarakat Jawa kuno merupakan sebuah pakaian keseharian yang bisa dikatakan pakaian wajib.
Terlebih dalam acara ritual seperti upacara adat, blangkon tidak pernah terlupakan. Blangkon memiliki makna filosofis yang sangat tinggi, walaupun bentuknya sederhana dengan warna biasa. Blangkon tak sedikitpun lepas dari pemaknaan dirinya. Tidak seperti topi yang mungkin hanya dimaknai sebagai penutup kepala dan fashion.
Keunggulan blangkon dari penutup kepala lainnya yakni terletak pada makna filosofis yang tersirat di dalam blangkon itu sendiri.
Ketika diri mengetahui makna filosofis yang tinggi di dalam blangkon itu sendiri, maka diri akan mempu menilai bahwa blangkon bukanlah sesuatu yang sederhana melainkan sesuatu yang sangat berharga.
Makna filosofis blangkon sendiri terdiri dari beberapa hal seperti halnya makna yang terkait pada sesuatu yang transedental.
Blangkon pada bagian belakang pasti memiliki dua ujung kain. Hal tersebut secara simbolis dari sendi-sendi agama Islam yakni syahadat Tauhid dan syahadat Rosul. Dimana dua kain tersebut diikat menjadi satu kesatuan menjadi syahadatain. Pemakaian blangkon pun terletak di kepala yakni sebagai simbolis bahwa syahadatain ditempatkan pada posisi teratas dan terhormat dalam diri manusia. Blangkon pun tidak bisa dan tidak boleh dikenakan di anggota badan yang lainya sebagai simbolis syahadat tidak boleh diletakkan di bawah sebab akan merusak agama atau keimanan, maka harus diletakka di posisi paling atas.
Selain itu juga menunjukkan bahwa apapun yang keluar dari kepala atau akal pikiran harus dilandasi dengan keimanan yang kuat terhadap Allah dan Rosul-Nya serta memperhatikan aturan-aturan dan nilai-nilai keislaman.
Dalam pemikiran yang sebebas apapun yang dilakukan manusia dengan memanfaatkan akal pikirannya agar berguna dan bermanfaat bagi orang banyak. Alangkah lebih baiknya juga berguna bagi seluruh alam sebagaimana ajaran islam rohmatan lil ’alamin.
Apabila diperhatikan lebih mendalam blangkon memang memiliki keistimewaan tersendiri dalam setiap unsurnya. Sepertihalnya lipatan-lipatan yang melingkar dan dibelangnya terdapat mondolan. Lipatan tersebut berjumlah 17 lipatan dimana 17 tersebut merupakan simbolisme dari 17 rakaat dalam sholat lima waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia mengutamakan dan jangan sampai melupakan sholat lima waktu. Selain itu mondolan di belakang dengan simbolisme agar manusia tercegah dari tidur dan menutup mata. Tidur disini pun bukan hanya tidur sebagai sitirahat. Namun di dalam hidup manusia tidak boleh tidur, diusahakan harus bisa selalu mengingat Gusti dan selalu melek terhadap segala yang ada sehingga rasa empati, peduli, peka dan roso pangrosonya terbangun dan selalu menyala. Sehingga manusia bisa selalu berjuang untuk berjalan rahman dan rahim dalam lelaku hidupnya.
Selain itu mondolan pun berada di tengah dan lurus ke atas, yakni memiliki simbolisme bahwa manusia harus berjuang untuk lurus, tegak menuju atau terhadap sang pencipta. Apabila ditarik benang merah makna mondolan merupakan pengingat agar manusia tidak menutup mata terhadap Sang Maha Kuasa dan selalu lurus menjalankan semua perintahnya.
Selain itu juga ingat untuk terus selalu berusaha seperti apa yang selalu dimohonkan dalam sholat ” ihdinash shirotol mustaqim “. Bukan hanya itu saja. Sisa kain di samping mondolan apabila dihitung berjumlah 6 yang mengandung simbol rukun iman dalam agama Islam.
Selain itu blangkon juga sebagi simbol pertemuan antara Jagad Alit (Microkosmos) dengan Jagad Gedhe (Macrokosmos).
Blangkon merupakan isyarat jagad gedhe karena nilai-nilai trasedental. Sedangkan kepala yang ditumpangi blangkon merupakan isyarat jagad alit. Hal inin terkait dengan tugas manusia sebagai kholifatullah fil ardhi yang membutuhkan kekuatan Tuhan. Oleh sebab itu agar manusia mampu menjalankan tugasnya di muka bumi ini membutuhkan kekuatan dari Tuhan yang disimboliskan dengan blangkon.
Setelah manusia mendapatkan kekuatan tersebut resmilah ia sebagai kholifatullah fil ardhi yang tugasnya mengurus alam seisinya. Maka tak heran jika zaman dahulu masyarakat Jawa banyak yang memakai blangkon karena mereka sadar bahwa mereka selain hamba Tuhan juga merupakah kholifah di bumi.
Makna filosofi blangkon di atas merupakan versi orang Jawa terutama bagi masyarakat Jawa Islam. Makna tersebut tercipta pada periode penyebaran agama islam di pulau Jawa.
Para penyebar agama Islam yang kemudian dikenal sebagai Majelis Dakwah Wali Songo menggunakan simbolisasi blangkon sebagai media dakwah. Terutama Sunan Kalijogo. Beliaulah orang yang sangat kreatif memakai simbol-simbol Budaya sebagai sarana dakwah. Tak heran jika Islam mampu diterima secara efektif oleh masyarakat Jawa saat itu sebab banyak memakai adat setempat sebagai medium dakwah. Itulah makna filosofi blangkon yang sangat luas.
Meski blangkon merupakan sesuatu yang sederhana, namun mampu memberikan mata air kearifan yang luhur. Ini menandakan bahwa para pendahulu masyarakat Jawa tidak pernah main-main dalam memaknai hidup. Mereka juga merupakan ahli pikir yang handal. Terbukti mereka mampu menciptakan sesuatu yang sederhana tetapi syarat makna. Itu merupakan hal yang luar biasa dan sulit ditiru. Boleh dikatakan bahwa mereka adalah para intelektual yang mampu menghasilkan karya-karya agung (magnum opus). Karya mereka bersifat abadi, bukan sementara. Buktinya sampai sekarang makna blangkon tetap memiliki relevansi dengan zaman. Meski blangkon tercipta berabad-abad lalu, namun maknanya masih segar sampai saaat ini.
Hanya saja sangat disayangkan saat ini blangkon tidak lagi menjadi sesuatu yang istimewa. Blangkon hanyalah sekedar hiasan dan sekedar warisan leluhur. Terlebih, jarang orang yang tahu akan makna yang tersirat dalam blangkon. Sehingga mereka tak mampu mewarisi tradisi kearifan para pendahulunya. Terbukti saat ini masyarakat Jawa Islam sedikit demi mengalami pergeseran nilai.
Sebagai generasi penerus, maka marilah kita bersama-sama menjaga kearifan lokal dan peninggalan nenek moyang terdahulu. Sebab hal tersebut merupakan kekayaan Bangsa Indonesia yang sangat berharga dan tidak dimiliki oleh bangsa lain.