SeputarMalang.Com – Dan iblis datang kepadaku dan berkata, “Celakalah kamu, hai manusia! Kamu telah menjadi seperti kami.”
Dan saya menjawab, “Celakalah kamu, hai iblis! Kamu telah menjadi seperti manusia.”
(Puisi “On Pain” dalam buku “The Prophet” karya Kahlil Gibran)
—
Di tengah-tengah lanskap kehidupan modern yang semakin maju dan kompleks, kita masih merasakan gempa susulan yang disebabkan oleh skandal korupsi yang terjadi berulang kali di Indonesia. Seolah tidak ada akhir, korupsi terus menghancurkan ruh negeri ini. Pandemi korupsi ini, seakan menginfeksi hampir semua lapisan masyarakat dan institusi, termasuk partai politik dan lembaga pemerintah.
Ungkapan lama “sedia payung sebelum hujan” dan slogan “mencegah lebih baik daripada mengobati” tampaknya sudah tidak relevan lagi. Kendati kita telah mempersiapkan berbagai strategi dan upaya untuk pencegahan dan pengobatan, namun korupsi masih merajalela. Mulai dari proyek pembangunan Wisma Atlet Hambalang, kasus e-KTP, hingga proyek pembangunan Menara Telekomunikasi senilai 8 triliun, semua terjaring dalam jaringan korupsi.
Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang seharusnya menjadi penjaga dan penyelamat negeri ini dari jebakan korupsi, tampaknya tidak pernah berhenti bekerja. Skandal mega korupsi satu per satu muncul, menunjukkan bahwa tugas KPK tampaknya jauh dari kata selesai. Korupsi muncul seperti jamur di musim hujan, menunjukkan bahwa penyakit ini telah menjadi bagian dari sistem yang ada.
Keterlibatan partai politik dalam skandal korupsi adalah yang paling meresahkan. Hampir semua kader partai politik, baik yang lama maupun yang baru, terlibat dalam kasus korupsi. Seperti iblis yang telah merasuki jiwa, korupsi tampaknya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari budaya politik kita.
Hukuman berat seperti penjara seumur hidup bagi penjahat korupsi tampaknya tidak cukup untuk memberikan efek jera. Penjahat korupsi, bagai iblis yang kebal terhadap hukuman, tetap berani melakukan korupsi, bahkan setelah melihat nasib teman-teman mereka yang ditangkap dan dipenjara.
Salah satu faktor utama yang memicu korupsi adalah kebutuhan biaya operasional partai politik dan keinginan para kader untuk mendapatkan pengembalian dari pengeluaran pribadi mereka saat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Faktor ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah moral, tetapi juga masalah ekonomi dan politik. Ini menggambarkan korupsi sebagai monster yang hidup di tengah-tengah kita, merusak integritas sistem politik dan ekonomi kita.
Beberapa negara bahkan telah memberlakukan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Namun, tampaknya hukuman ini juga belum cukup efektif. Ini menunjukkan bahwa masalah korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah budaya dan sistem. Seolah iblis korupsi memiliki akar yang dalam dalam budaya dan sistem kita.
Di sisi lain, pendidikan anti-korupsi juga telah digalakkan, mulai dari tingkat taman kanak-kanak. Anak-anak diajarkan bahwa mencuri adalah perilaku yang tidak baik dan merugikan orang lain. Namun, tampaknya pendidikan ini juga belum cukup memberikan dampak yang signifikan. Seolah pendidikan ini hanya menjadi mantra kosong yang diucapkan, tetapi tidak mengubah realitas yang ada.
Pendidikan agama juga digiatkan, dengan harapan nilai-nilai universal agama yang murni dan luhur dapat menjadi pedoman bagi setiap individu. Namun, ironisnya, banyak tokoh agama atau orang yang sangat memahami agama juga tersangkut korupsi. Ini menunjukkan bahwa korupsi, seperti iblis, tidak memilih tempat dan tidak memandang siapa yang menjadi sasarannya.
Semakin banyak penjahat korupsi yang tertangkap, malah menjadikan pelajaran baru bagi orang-orang tentang bagaimana melakukan korupsi dengan gaya dan modus baru. Ini menunjukkan bahwa korupsi bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah pendidikan dan budaya. Seperti iblis yang terus berevolusi, korupsi juga terus mengubah wujud dan strateginya.
Puisi dari Kahlil Gibran seperti di awal tulisan ini seolah-olah permohonan kepada Tuhan “Wahai Tuhan, sudah waktunya Engkau musnahkan setan dan iblis karena kami manusia sudah menjadi mereka…” tampaknya sangat relevan dalam konteks ini. Seolah-olah, korupsi telah menjadi iblis yang merasuki jiwa dan pikiran kita. Ini adalah gambaran tragis tentang bagaimana korupsi telah merasuki kehidupan kita.
Namun, pertanyaannya adalah, apakah korupsi ini benar-benar disebabkan oleh pengaruh setan atau iblis? Ataukah ini adalah akibat dari sistem politik dan ekonomi yang rusak dan tidak adil? Mungkin, jawabannya adalah keduanya. Sistem politik dan ekonomi yang rusak dan tidak adil mungkin telah membuka pintu bagi setan dan iblis korupsi untuk merasuki jiwa dan pikiran kita. Ini menunjukkan bahwa korupsi adalah hasil dari kombinasi sistem yang rusak dan nilai-nilai yang terdistorsi.
Dengan demikian, solusi untuk masalah korupsi bukan hanya berpasrah kepada “tangan Tuhan”, tetapi juga berada di tangan kita. Kita perlu melakukan reformasi sistem politik dan ekonomi kita agar lebih adil dan transparan. Ini adalah tugas kita, sebagai anggota masyarakat, untuk berjuang melawan korupsi dan membangun sistem yang lebih baik.
Kita juga perlu melakukan reformasi pendidikan kita, agar tidak hanya mengajarkan nilai-nilai moral dan etika, tetapi juga mengajarkan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam sistem politik dan ekonomi yang adil dan transparan. Ini adalah langkah penting untuk mencegah generasi mendatang terjebak dalam siklus korupsi.
Kita juga perlu memperkuat lembaga-lembaga negara seperti KPK, agar mereka dapat bekerja dengan lebih efektif dalam memberantas korupsi. Kita harus mendukung mereka dalam upaya mereka untuk memerangi iblis korupsi.
Kita juga perlu mendorong partai politik untuk melakukan reformasi internal, agar mereka dapat bekerja dengan lebih transparan dan bertanggung jawab. Kita perlu membangun budaya politik yang lebih sehat, yang menghargai kejujuran, integritas, dan transparansi, bukan korupsi.
Namun, semua ini tidak akan mudah. Korupsi adalah penyakit yang telah mengakar dalam budaya politik kita. Memerangi korupsi bukanlah pekerjaan satu hari, tetapi memerlukan usaha dan kerja keras yang berkelanjutan. Namun, kita harus tetap optimis. Seperti yang dikatakan oleh Nelson Mandela, “It always seems impossible until it’s done“. Ya, mungkin tampaknya mustahil sekarang, tetapi jika kita terus bekerja keras dan tidak pernah menyerah, kita pasti akan berhasil. Kita harus yakin bahwa kita bisa mengusir iblis korupsi dari negeri ini. Sebab, kita tidak hanya berjuang untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk masa depan Indonesia.