SeputarMalang.Com – “Ngawulo dhateng kawulaning Gusti, lan memayu hayuning urip, tanpa pamrih, tanpa ajrih, ajeg mantep, mawi pasrah.” – RM. Sosrokartono –
Betapa media sosial saat ini terus mendorong banyak orang semakin egois dan selfish. Hanya memikirkan dirinya sendiri. Semakin mengabaikan orang lain. Media sosial menjadikan semakin banyak orang ingin diperhatikan, tapi tidak mau memperhatikan. Semuanya berlomba-lomba merebut perhatian. Semuanya ingin didengarkan, tapi tidak mau mendengarkan. Semuanya tentang diri sendiri ingin dibantu, tapi dirinya sendiri tidak mau membantu orang lain. Padahal, semakin seseorang ingin mendapatkan perhatian, maka dirinya semakin terjerumus dalam jurang sindrom Raja Lalim Raja Lupa Diri. Ingin selalu diperlakukan seperti raja yang egois dan selfish. Semakin lupa bahwa dirinya sesungguhnya adalah Kawulo bagi Kawulaning Gusti. Hakikatnya adalah Hamba. Sebagai Kawulo atau Pelayan.
Dengan menyadari bahwa sejatinya diri ini adalah Ngawulo dhateng kawulaning Gusti, maka kesadaran diri sebagai hamba-Nya, justru menjadi sumber pencerahan dan kebijaksanaan mulia. Menjadi hamba-Nya adalah kemulian yang tiada bandingannya. Maka, Ngawulo dhateng kawulaning Gusti adalah sebuah kenikmatan dan anugerah yang mulia. Ngawulo bukanlah kesengsaraan dan penderitaan. Ngawulo adalah laku hidup yang penuh dengan sumber pencerahan dan kebijaksanaan. Namun demikian, saat ini Ngawulo dianggap sebagai sesuatu yang hina dan menderita. Melayani orang lain, dianggap sebagai sebuah pekerjaan yang rendahan dan dihinakan. Bukankah ini kesesatan berpikir yang semakin menjadi-jadi saat ini?
Kedudukan seorang raja, sesungguhnya adalah menjadi pelayan bagi rakyatnya. Tapi bagi seorang Raja Lalim Raja Lupa Diri, rakyatlah yang harus menjadi pelayan bagi rajanya. Raja seperti itu, tentu sangat tidak layak menjadi raja. Begitu juga kedudukan sebagai Abdi Negara, Aparatur Sipil Negera (ASN) atau Pejabat Negara, sesungguhnya adalah menjadi pelayan bagi rakyatnya. Tapi apa yang terjadi saat ini? Justru semakin banyak Abdi Negara, ASN dan Pejabat Negara, yang ingin terus menerus dilayani oleh rakyatnya. Seolah-olah, kedudukan rakyat adalah di bawahnya untuk diperintah dan dinjak-injak. Mereka semakin lupa diri. Kedudukan dan jabatannya, hanya untuk memuaskan nafsu dan kepentingannya sendiri. Justru semakin kurang ajar dengan berbagai tindakan Kolusi, Korupsi dan Nepotisme.
Bahkan lebih ironis lagi, untuk bisa menjadi pelayan rakyat, entah itu sebagai ASN, Aparat, Kepala Daerah, Anggota Dewan ataupun untuk menduduki jabatan tertentu, mereka justru berusaha dengan membayar/ membelinya dengan harga yang sangat fantastis. Rela mengeluarkan uang yang jumlahnya besar, bahkan tidak segan-segan melakukan penyelewengan/ kebusukan, hanya demi untuk bisa mendapatkan jabatan atau kedudukan tersebut. Wajar saja jika kemudian ketika mereka berhasil menjadi ASN, Aparat, Kepala Daerah, Anggota Dewan ataupun menduduki jabatan tertentu, yang ada dipikiran mereka cuma mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka lantas minta dilayani, dan tidak mau melayani hajat hidup rakyat. Mereka terus berlomba-lomba berebut jabatan, kedudukan dan kekuasaan. Hanya demi memuaskan nafsu dan kepentingannya sendiri. Mereka mengabaikan dan menginjak-injak rakyat.
Maka, kita semakin sadar bahwa ketika semakin banyak Abdi Negara, ASN dan Pejabat Negara, yang ingin selalu dilayani rakyatnya, bahkan menggunakan kedudukan dan jabatannya hanya untuk memuaskan nafsu dan kepentingannya sendiri, sesungguhnya mereka semuanya telah mengabaikan Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka berkuasa seolah-olah Tuhan Yang Maha Kuasa tidak melihat apapun perbuatan buruknya. Dengan semakin mengabaikan dan menindas rakyatnya, maka itu berarti mereka semakin mendustakan Tuhan Yang Maha Kuasa. Bukankah yang disebut dengan Kawulaning Gusti itu adalah rakyat? Maka, semakin jelas bahwa dengan mengabaikan dan menindas Kawulaning Gusti (rakyat), maka sesungguhnya mereka sedang mengabaikan dan durhaka kepada Gusti (Tuhan Yang Maha Kuasa).
Jika kita mempelajari sejarah orang-orang hebat dan mulia di masa lalu, maka kita bisa dengan mudah menemukan bahwa mereka semuanya adalah Ngawulo dhateng kawulaning Gusti. Menjadi pelayan bagi hajat hidup orang banyak/ rakyat (kawulaning Gusti). Orang-orang hebat dan mulia itu, seluruh hidupnya diberikan untuk membela, melayani dan melindungi hajat hidup kawulaning Gusti. Orang-orang hebat dan mulia itu, tidak mau mementingkan kebutuhan dan kepentingan dirinya sendiri. Justru mereka berani mengorbankan dirinya sendiri, demi untuk menyelamatkan hajat hidup orang banyak/ rakyat. Menjadi hamba-Nya, dengan menjadi kawulo/ pelayan bagi kawulaning Gusti.
Dalam berbagai kisah dan catatan sejarah, justru orang-orang hebat dan hidup mulia, seringkali menemukan pencerahan dan kebijaksanaan, pada saat mereka mengalami berbagai penderitaan dan kesengsaraan dalam menjadi kawulo/ pelayan bagi hajat hidup orang banyak/ rakyat. Mereka merasakan kebahagiaan dan kenikmatan yang sangat luar biasa, justru ketika mampu melayani, melindungi dan mengayomi hajat hidup orang banyak/ rakyat. Inilah yang disebut sebagai Kenikmatan Illahiah. Yang bisa diraih bukan dengan jabatan yang tinggi atapun tumpukan harta benda duniawi bergunung-gunung. Kenikmatan Illahiah ini justru bisa diraih dengan berbagai kesengsaraan dan penderitaan selama menjalani hidup sebagai Pelayan Hamba-Nya. Ngawulo dhateng kawulaning Gusti. Memayu hayuning urip, tanpa pamrih, tanpa ajrih, ajeg mantep, mawi pasrah.
Pada akhirnya, berani menjalani hidup sebagai Ngawulo dhateng kawulaning Gusti adalah Jalan Hidup Mulia. Maka, jabatan, kedudukan, pekerjaan, harta benda dan lain-lainnya, itu semuanya hanya sekedar alat bantu untuk memudahkan diri kita dalam menjalani hidup untuk Ngawulo dhateng kawulaning Gusti. Hingga diri kita mampu mencapai tahap: Manunggaling Kawula Gusti. Manjing! Sejati!
Itulah kenapa saya selalu senang, bahagia dan menikmati ketika saya bisa melayani hajat hidup orang banyak. Segala bentuk tantangan, kesusahan, penderitaan, kesengsaraan dan pengorbanan, yang ada di dalam setiap proses Ngawulo dhateng kawulaning Gusti, justru semakin banyak memberikan sumber-sumber pencerahan dan kebijaksanaan yang hakiki. Saya menari-nari, bernyanyi-nyanyi dan bersukacita di dalamnya. Sambil berharap, semoga bisa sampai pada tingkatan itu: Manunggaling Kawulo Gusti. Semoga.