SeputarMalang.Com – “Tidak ada balasan (yang layak) bagi jamaah haji mabrur selain surga,” (HR Bukhari).
“Para sahabat bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa itu haji mabrur?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Memberikan makanan dan menebarkan kedamaian,'” (HR Ahmad).
“Rasulullah SAW ditanya tentang haji mabrur. Rasulullah kemudian berkata, ‘Memberikan makanan dan santun dalam berkata.’ Al-Hakim berkata bahwa hadits ini sahih sanadnya tetapi tidak diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.”
Berdasarkan hadits-hadits di atas, ada tiga tanda bahwa haji seseorang itu mabrur. Pertama, bersikap santun saat berbicara. Kedua, berusaha menghadirkan kedamaian di mana pun dan kapan pun. Dan ketiga, memiliki kepedulian sosial, misalnya memberi makan orang yang kelaparan.
Ibadah Haji merupakan salah satu ibadah yang paling penting dalam agama Islam. Setiap tahunnya, jutaan umat Muslim dari seluruh dunia melakukan perjalanan ke Tanah Suci, Mekah, untuk menjalankan ibadah ini. Namun, apa yang dapat kita pelajari dari seorang filsuf abad ke-19, Charles Sanders Peirce, dan teorinya tentang pragmatisme, ketika kita berbicara tentang ibadah Haji? Apakah pragmatisme dapat membantu kita dalam memahami dan menghayati makna sejati di balik ritual-ritual yang dilakukan dalam haji? Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi teori pragmatisme oleh Peirce dan menerapkannya dalam konteks ibadah Haji, dengan harapan bahwa pendekatan ini dapat membantu kita mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang kebenaran spiritual yang terkandung dalam ibadah Haji.

Charles Sanders Peirce adalah tokoh utama dalam pengembangan aliran filsafat pragmatisme. Ia melihat pragmatisme sebagai metode penelitian yang mengedepankan pentingnya konsekuensi praktis dalam memahami kebenaran suatu ide atau keyakinan. Bagi Peirce, sebuah ide harus diuji melalui konsekuensi yang dapat diamati atau dijalankan, dan jika menghasilkan hasil yang berguna dan konsisten dengan pengalaman, maka ia dapat dianggap benar secara praktis. Peirce juga menghubungkan pragmatisme dengan teori tanda atau semiotika, di mana tanda-tanda dianggap sebagai alat komunikasi yang memiliki nilai instrumental. Pragmatisme menggabungkan logika deduktif dan metode induktif dalam apa yang disebut Peirce sebagai “metode ketiga”, dan tujuannya adalah mengembangkan klarifikasi konseptual dan solusi yang memuaskan. Pragmatisme juga mendorong kerjasama sosial dan toleransi dalam mencapai pemahaman bersama serta menciptakan masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ibadah Haji, kita dapat melihat bagaimana pragmatisme dapat diterapkan dalam memahami kebenaran spiritual yang terkandung dalam ibadah ini.
Pragmatisme membuka pintu bagi kita untuk memandang ibadah Haji tidak hanya sebagai serangkaian ritual yang dilakukan mekanis, tetapi sebagai sarana untuk mencapai hasil dan manfaat praktis dalam kehidupan nyata. Ritual-ritual dalam ibadah Haji, seperti tawaf, sa’i, dan wukuf di Arafah, dapat diartikan secara pragmatis sebagai upaya untuk memperkuat ikatan spiritual dengan Tuhan, memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri, dan membangun persaudaraan umat Muslim yang melintasi batas-batas etnis, bahasa, dan budaya.
Dalam pandangan pragmatisme, pengalaman nyata yang diperoleh melalui pelaksanaan ibadah Haji adalah hal yang penting. Peirce menekankan bahwa kebenaran sebuah ide harus diuji melalui pengamatan dan eksperimen. Dalam konteks ibadah Haji, pengalaman nyata jamaah Haji menjadi ujian kebenaran spiritual yang dapat diamati melalui perubahan perilaku, peningkatan kesadaran diri, dan kedekatan dengan Tuhan. Pragmatisme mengajarkan kita untuk menguji makna dan manfaat ibadah Haji melalui pengalaman yang kita alami selama perjalanan dan pelaksanaan ritual-ritual tersebut.
Dalam perspektif Peirce, ibadah Haji juga dapat dilihat sebagai bentuk semiotik, di mana tanda-tanda memiliki nilai instrumental dalam menghubungkan pikiran manusia dengan Tuhan dan sesama manusia. Tanda-tanda dalam ibadah Haji, seperti Ka’bah, Safa dan Marwah, dan batu-batu yang dilempar sebagai simbol penolakan terhadap godaan setan, menjadi sarana untuk menyampaikan makna dan pesan yang mendalam. Pragmatisme mengajarkan kita untuk memahami kebenaran tanda-tanda tersebut melalui efektivitas mereka dalam mengarahkan tindakan kita menuju tujuan spiritual yang diinginkan.
Lebih dari itu, pragmatisme juga mengajarkan pentingnya kerjasama sosial dan toleransi dalam mempraktikkan ibadah Haji. Seperti yang diajarkan oleh Peirce, melalui dialog dan konsensus, kita dapat mencapai pemahaman yang lebih baik dan menciptakan masyarakat yang lebih baik. Dalam konteks ibadah Haji, ribuan jamaah Haji dari berbagai negara dan latar belakang berkumpul dalam keramaian yang luar biasa. Mereka harus belajar bekerja sama, menghormati perbedaan, dan menjunjung tinggi nilai kesetiakawanan umat Muslim. Pragmatisme mengajarkan kita untuk melihat kerjasama dan toleransi ini sebagai konsekuensi praktis yang penting dalam mencapai tujuan ibadah Haji.
Pragmatisme Ibadah Haji dari Perspektif Islam
Pemikiran pragmatisme Charles Sanders Peirce dapat dianalisis dari perspektif Islam dengan merujuk pada prinsip-prinsip ajaran Al-Quran dan hadits. Meskipun Peirce adalah seorang filsuf Amerika, ada beberapa persamaan dalam konsep pragmatisme yang dapat dihubungkan dengan prinsip-prinsip dalam Islam. Namun, perlu dicatat bahwa Peirce bukanlah seorang sarjana Islam dan pemikirannya bukanlah pandangan otoritatif dalam konteks agama Islam. Oleh karena itu, dalam mengaitkan pragmatisme Peirce dengan Islam, perlu diingat bahwa perspektif Islam didasarkan pada ajaran Al-Quran dan hadits.
Dalam perspektif Islam, pemikiran pragmatisme Charles Sanders Peirce dapat dilihat sebagai komplementer dengan prinsip-prinsip dan ajaran agama Islam terkait ibadah Haji. Pragmatisme Peirce yang menekankan pentingnya hasil praktis dan manfaat yang diperoleh dari tindakan atau keyakinan, sejalan dengan nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran Islam terkait pelaksanaan ibadah Haji. Dalam kajian ini, kita akan melihat bagaimana pemikiran pragmatisme Peirce dan ibadah Haji memiliki keterkaitan dalam perspektif Islam.
Pertama, Prinsip Kemanfaatan (Maqasid al-Shariah). Dalam pemikiran pragmatisme, manfaat praktis menjadi tolok ukur kebenaran suatu tindakan atau keyakinan. Dalam Islam, prinsip kemanfaatan atau Maqasid al-Shariah menekankan pentingnya mencapai manfaat dan mencegah kerugian dalam melaksanakan perintah Allah SWT. Dalam konteks ibadah Haji, Al-Quran menyatakan dalam Surah Al-Baqarah ayat 197, “(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi. Siapa yang mengerjakan (ibadah) haji dalam (bulan-bulan) itu, janganlah berbuat rafaṡ, berbuat maksiat, dan bertengkar dalam (melakukan ibadah) haji. Segala kebaikan yang kamu kerjakan (pasti) Allah mengetahuinya. Berbekallah karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa. Bertakwalah kepada-Ku wahai orang-orang yang mempunyai akal sehat.” Ayat ini menunjukkan pentingnya persiapan dan pengaturan praktis dalam melaksanakan ibadah Haji agar dapat mencapai manfaat spiritual yang lebih besar.
Kedua, Pengujian melalui Praktik. Dalam pragmatisme, ide atau keyakinan diuji melalui konsekuensi praktis yang dihasilkan. Dalam konteks ibadah Haji, Islam mengajarkan pengujian melalui praktik dalam berbagai ritual. Misalnya, tawaf di sekitar Ka’bah menguji ketaatan dan konsentrasi seorang Muslim dalam menghadap Allah SWT. Al-Quran menyatakan dalam Surah Al-Hajj ayat 29, “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada di badan mereka, menyempurnakan nazar-nazar mereka, dan melakukan tawaf di sekeliling al-Bait al-‘Atīq (Baitullah).” Hadits juga menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Wahai manusia, ambilah manasik kalian (dariku), karena sesungguhnya aku tidak mengetahui mungkin saja aku tidak berhaji setelah tahun ini”. (HR. Muslim dan lafazh ini dari riwayat An Nasai). Praktik ibadah Haji adalah pengujian nyata terhadap keyakinan dan ketaatan seseorang dalam mencapai manfaat spiritual yang dikehendaki oleh Islam.
Ketiga, Kerjasama dan Persaudaraan. Pragmatisme Peirce menekankan pentingnya kerjasama sosial dalam mencapai pemahaman yang lebih baik dan menciptakan masyarakat yang lebih baik. Dalam ibadah Haji, kerjasama dan persaudaraan antarjamaah sangat penting. Islam menekankan nilai-nilai persatuan, kerjasama, dan persaudaraan dalam berbagai ayat Al-Quran dan hadits. Misalnya, Al-Quran menyatakan dalam Surah Al-Hujurat ayat 10, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati.” Dalam sebuah hadits riwayat Muslim menyatakan, dari Abu Hurairah RA dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ”Janganlah kalian saling dengki, melakukan najasy, saling membenci, saling membelakangi dan sebagian dari kalian menjual apa yang dijual saudaranya. Jadilah kalian semua hamba–hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sehingga dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya, mendustakannya dan merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali– cukuplah seseorang itu dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya.” Melalui kerjasama dan persaudaraan yang ditekankan oleh Islam, ibadah Haji menjadi kesempatan untuk memperkuat ikatan sosial dan meningkatkan manfaat praktis dari ibadah tersebut.
Kesimpulan
Dengan mengadopsi pendekatan pragmatisme Charles Sanders Peirce, kita dapat melihat ibadah Haji sebagai sebuah perjalanan spiritual yang menghasilkan konsekuensi praktis dan manfaat dalam kehidupan nyata. Ibadah Haji bukan hanya tentang ritual mekanis, tetapi tentang pengalaman yang mengubah diri, pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan diri sendiri, serta kerjasama sosial dan toleransi. Pragmatisme mengajarkan kita untuk menguji kebenaran spiritual dalam ibadah Haji melalui pengalaman nyata dan konsekuensi praktis yang dihasilkan. Dengan demikian, kita dapat menjalankan ibadah Haji dengan lebih bermakna dan mendalam, dan mencapai pemahaman yang lebih baik tentang kebenaran spiritual yang terkandung di dalamnya.
Perspektif Islam terkait pemikiran pragmatisme Charles Sanders Peirce dan ibadah Haji menunjukkan adanya keterkaitan yang erat. Prinsip kemanfaatan, pengujian melalui praktik, kerjasama, dan persaudaraan merupakan nilai-nilai yang dianjurkan dalam Islam dan juga ditemukan dalam pemikiran pragmatisme Peirce. Al-Quran dan hadits memberikan dalil-dalil yang menggarisbawahi pentingnya manfaat praktis, pengujian melalui praktik, dan kerjasama dalam pelaksanaan ibadah Haji. Dengan memadukan pemikiran pragmatisme Peirce dan nilai-nilai Islam, kita dapat memahami dan menghayati ibadah Haji dengan lebih mendalam, sambil mencapai manfaat spiritual yang diharapkan. Wallahu a’lam.