SeputarMalang.Com – Ramadhan 1445 H telah pergi dan Idul Fitri menyapa untuk dirayakan. Perayaan Idul Fitri sebagai penanda kemenangan dan menjadi titik tumpu berjejak atau tidakkah puasa [Ramadhan] yang telah dijalani.
Menjalani puasa sebulan penuh dan memuncakkannya dengan zakat fitrah sebagai bentuk spiritualitas puasa yang harus berjejak. Karena puasa sebagai bentuk aktivasi nyawiji dalam kehidupan seorang mukmin. Adalah pribadi yang dapat memenuhi kehendak Allah, dan memiliki iman kuat dalam hatinya.
Ramadhan identik dengan puasa dan merupakan jargon utama dari aktivitas ibadah lainnya yang dilakukan oleh seorang hamba Allah Swt. Oleh karena itu, puasa akan memberikan pendidikan, kepedulian sosial, dan jalan menuju kedekatan diri seorang hamba kepada Allah Ta’ala, melalui olah rasa dan mempertajam kepekaannya dalam menghubungkan makna ibadah yang telah dijalani dengan kondisi perbuatan individu dan sosialnya kemasyarakatan sehari-hari.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman, Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.”
Dari Hadits qudsi tersebut puasa memiliki positioning yang istimewa. Mengapa puasa memiliki keistimewaan di sisi Allah swt. dibanding amal ibadah lainnya? Beberapa pendapat di antaranya. Pertama, puasa adalah ibadah yang tidak bisa terjerumus dalam riya (pamer). Hal ini sesuai sabda Rasulullah saw., “Pada puasa tidak ada sifat riya (pamer).” Puasa merupakan ibadah yang bersifat abstrak. Artinya ibadah puasa tidak memiliki gerakan yang bisa membedakan antara orang yang sedang berpuasa dengan yang tidak. Semisal, Shalat, haji, zakat dan lainnya. Bisa dibedakan dengan terang benderang orang yang sedang Shalat dengan yang tidak, demikian juga haji, zakat dan lainnya.
Kedua, puasa mampu melumpuhkan setan. Ketika sedang berpuasa, kita akan menahan diri untuk tidak makan dan minum sampai waktu magrib tiba. Ketika makanan dan minuman tidak masuk dalam tubuh, maka nafsu (syahwat) dalam diri akan terkendali. Sementara nafsu (syahwat) merupakan pintu masuk utama bagi setan untuk menjerumuskan manusia dalam lembah maksiat. Rasulullah saw. pernah bersabda, “Sesungguhnya setan itu menyusup dalam aliran darah anak Adam, maka persempitlah jalan masuknya dengan lapar (puasa).”
Ketiga, pahala puasa lebih besar dibanding ibadah lainnya. Menurut Al-Qurtubi, setiap amal ibadah sudah ditentukan besar pahala yang diperoleh, dari mulai dilipatkan 10 kali, 700 kali, dan sampai yang Allah kehendaki.
Vocal point dalam amalan puasa, adanya bentuk meninggalkan berbagai macam syahwat yang tidak kita jumpai pada amalan lainnya. Jika seseorang telah melakukan ini semua –seperti meninggalkan hubungan badan dengan istri dan meninggalkan makan-minum ketika puasa-, dan dia meninggalkan itu semua karena Allah, padahal tidak ada yang memperhatikan apa yang dia lakukan tersebut selain Allah, maka ini menunjukkan benarnya iman orang yang melakukan semacam ini.
Ihwal tersebut yang dikatakan oleh Ibnu Rajab, “Inilah yang menunjukkan benarnya iman orang tersebut.” Orang yang melakukan puasa seperti itu selalu menyadari bahwa dia berada dalam pengawasan Allah meskipun dia berada sendirian. Dia telah mengharamkan melakukan berbagai macam syahwat yang dia sukai. Dia lebih suka menaati Rabb-nya, menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya karena takut pada siksaan dan selalu mengharap ganjaran-Nya. Sebagian salaf mengatakan, “Beruntunglah orang yang meninggalkan syahwat yang ada di hadapannya karena mengharap janji Rabb-nya yang tidak tampak di hadapannya”.
Aktivasi Nyawiji
Filosofi luhur tradisi orang Jawa, puasa menjadi sarana menggembleng jiwa, raga, mempertajam rasa batin, olah rasa, serta menyucikan hati dan pikiran. Sehingga puasa itu berjejak, bermanfaat.
Rahasia spiritual tingkat tinggi raja-raja Mataram, ditulis dalam Serat Wedhatama tertulis bahwa ngelmu iku kalakone kanthi (ilmu itu baru bermanfaat atau ada manfaatnya bila telah dilaksanakan)
Dalam pandangan keilmuan, lelaku (pola tindak) yang dimaksud bisa juga berarti proses spiritual. Dan puasa itu sendiri dianggap sebagai bagian dari lelaku dalam rangka mendapatkan aji jaya kawijayan, ilmu kesaktian lahir dan batin, pencapaian harapan, dan sebagainya. Pendek kata, puasa sebagai aktivasi nyawiji. Karena puasa menggambarkan konsep pengendalian diri atau pengekangan agar bisa nyawiji (menyatu) dengan Tuhan.
Secara tekstual, nyawiji merupakan salah satu ajaran dari Sri Sultan Hamengku Buwono I, pendiri Kasultanan Yogyakarta. Nyawiji (Sawiji) dimaknai sebagai upaya keras dalam mewujudkan cita-cita yang didukung dengan konsentrasi terarah pada tujuan utama.
Dalam konteks Islam, adanya reka daya hamba untuk menjadi pribadi sempurna (insan al-kamil) di hadapan Allah Swt. Semisal puasa bertujuan untuk menyucikan diri hingga akhirnya bisa tersingkap hijab antara dirinya dan Yang Maha Tunggal. Tahapannya: membersihkan jiwa (takhalli), memperindah diri (tahalli), dan menghadirkan Allah Azza Wajalla dalam setiap tarikan napas dan aktivitas atau tajalli.
Dan seorang ahli tasawuf, Muhammad Nursamad Kamba (2020) menjelaskan bahwa dalam tradisi sufi, proses yang dikenal secara berturut-turut dengan istilah takhalli, tahalli, dan tajalli.
Takhalli sebagai proses membersihkan diri dari dorongan-dorongan primitif yang destruktif pada jiwa. Tahalli adalah tindakan peniruan terhadap sifat-sifat Tuhan dengan cara meninternalisasikan ke dalam diri. Tajalli sebagai keadaan spiritual ketika seseorang merasakan kehadiran Tuhan setelah dirinya bersih. Akhirnya, Wallahu a’lamu bi al-shawab.