Seputar Malang
  • Beranda
  • Balaikota
  • Pendidikan
  • Pekerja Migran Indonesia
  • Hotel dan Resto
  • Tentang
No Result
View All Result
Seputar Malang
  • Beranda
  • Balaikota
  • Pendidikan
  • Pekerja Migran Indonesia
  • Hotel dan Resto
  • Tentang
No Result
View All Result
Seputar Malang
No Result
View All Result
Home Opini

Menyembelih Ego: Spiritualitas Kurban dalam Lelaku Jawa

Abdillah by Abdillah
6 Juni 2025
A A
0
Puasa sebagai Aktivasi Nyawiji
0
SHARES
20
VIEWS
Bagi di WhatsappBagi di Facebook

SeputarMalang.Com – Kondisi sosial kemasyarakatan dan zaman makin riuh. Realitas yang kerap tertutup kusamnya kepentingan dan suara nurani makin sayup di antara hiruk-pikuk dunia, umat Islam kembali dipertemukan dengan momentum Idul Kurban.

Idul Kurban atau Idul Adha secara substantif bukanlah sekadar perayaan tahunan atau rutinitas menyembelih hewan, Idul Kurban menghadirkan panggilan spiritual untuk menyelami makna terdalam tentang pengorbanan, keikhlasan, dan kemanusiaan.

Dalam khazanah local wisdom masyarakat Jawa, dikenal adagium bijak: ngerti, ngrasa, dan tumindak. Sebuah trilogi nilai yang menuntun manusia untuk tidak sekadar tahu, tetapi juga mampu menyelami makna dan mewujudkannya dalam tindakan. Ngerti berarti memahami; ngrasa berarti menghayati secara batiniah; dan tumindak berarti menjalankan dengan kesadaran penuh. Ketiganya membentuk satu kesatuan utuh dalam lelaku hidup yang arif.

Ihwal tersebut sebagai isomorfisme, menunjukkan bagaimana nilai atau pola lelaku yang berbeda namun dalam satu sistem lelaku yang integratif.

Dalam semangat Idul Kurban, adagium tersebut menjadi semacam cermin reflektif untuk mengajak kita menakar kembali: Apakah kita telah bertindak, bukan hanya dalam bentuk ritual, tetapi juga dalam lelaku sosial yang membawa maslahat bersama?

Di tengah disrupsi teknologi yang tak kenal jeda, polarisasi politik yang menajam, serta kesumat kemanusiaan yang kian menjadi, Idul Kurban datang sebagai jeda perenungan.

Idul Kurban atau Idul Adha mengingatkan kita bahwa menyembelih bukan hanya tentang hewan, melainkan tentang ego, keserakahan, dan nafsu kepemilikan. Inilah saatnya untuk kembali eling lan waspada – sadar dan mawas diri – bahwa hidup sejatinya bukan soal memiliki saja, melainkan memberi. Adalah take and give.

Spiritual Idul Kurban

Makna Idul Kurban atau Idul Adha bukan semata ritual penyembelihan hewan kurban, tetapi sebuah bentuk spiritual untuk ‘menyembelih’ nafsu hewani dalam diri, serta membumikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin.

‘Menyembelih’ tidak berhenti pada tindakan fisik memotong leher hewan kurban. Tapi merupakan simbol dari proses batiniah yang jauh lebih mendalam dan menantang.

Menyembelih ego, keakuan, dan nafsu hewani yang bersemayam dalam diri manusia. Ego, dalam bahasa sufistik disebut an-nafs al-ammarah. Bagian terdalam pada diri yang terus mendorong manusia pada keinginan-keinginan duniawi yang serakah, merasa paling benar, paling penting, dan paling berhak. Dalam keadaan inilah manusia rentan kehilangan rasa dan nalar, bahkan lupa akan kemanusiaannya sendiri.

Dalam kehidupan sosial, nafsu hewani sering kali menjelma dalam bentuk ambisi kekuasaan, kerakusan, kebanggaan semu atas jabatan, hingga sikap intoleran yang lahir dari keangkuhan kebenaran tunggal.

Kita menyaksikan bagaimana sesama anak bangsa saling ‘menyembelih’ – melukai dengan kata, menghujat dengan narasi, terlibat produksi dan distribusi konten hoaks, bahkan meniadakan eksistensi orang lain demi memuaskan ego kelompoknya.

Dus, dipertontonkannya ‘menyembelih’ sesama anak bangsa demi kuasa dan harta untuk kepemilikan nan rakus.

Spiritualitas Idul Kurban mengajak untuk eling lan waspada – sadar bahwa hidup bukan tentang kepemilikan atau menguasai, melainkan pengorbanan dan kebermanfaatan. Makna terdalamnya, menjadi momen latihan spiritual untuk mengasah rasa, mengendalikan syahwat kepemilikan dan kekuasaan, serta meruntuhkan tembok keakuan. Ini memang tidaklah mudah, tapi harus diasah dan dilatih.

Maka, siapa pun yang ingin menemukan harmoni dan kedamaian, hendaknya mulai dari menyembelih keangkuhan dalam dirinya, karena dari situlah pintu keberkahan dan persaudaraan akan terbuka.

Kurban bukan hanya ritual tahunan, tetapi jalan sunyi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama, melalui pengorbanan yang tak tampak, namun terasa.

Jejak Nabi Ibrahim dalam Lelaku Jawa

Dalam tradisi Jawa, hewan sering dimaknai secara simbolik. Misalnya, sering dikaitkan dengan sifat gragas (rakus), ora bisa ngempet (tidak mampu menahan diri) dan sak karepe dewe (semaunya).

Selaras dengan konsep dalam sufisme Islam tentang an-nafs al-ammarah – yakni nafsu rendah yang mendorong manusia pada kezaliman. Maka, menyembelih hewan kurban dalam Idul Adha bukan sekadar tindakan fisik, tetapi simbol lelaku batin. Yaitu, menyembelih ego, keserakahan, dan nafsu kebinatangan.

Ritual kurban sebagai lelaku spiritual, ikhtiar menyucikan diri. Dalam falsafah Jawa, ini dikenal sebagai proses ngowahi sukma, perubahan jiwa dari kasar ke halus, dari dur angkara menjadi tentrem rasa. Maka, Idul Adha harus dimaknai sebagai panggilan untuk mengalahkan ego pribadi demi kemaslahatan sosial.

Sebagai bentuk kemaslahatan sosial, maujud hewan yang disembelih didistribusi kepada sesama. Instrumen pemerataan – mengalirkan rezeki dari yang mampu kepada yang membutuhkan, mencairkan sekat sosial. Dan tentu, meningkatkan produktivitas perekonomian peternak dan ekosistemnya.

Kembali pada tradisi Jawa. Lelaku hidup sering dipahami sebagai perjalanan batin menuju kesempurnaan jiwa, sangkan paraning dumadi – memahami asal-usul dan tujuan akhir manusia. Prinsip ini selaras dengan kisah agung Nabi Ibrahim yang rela meninggalkan anak dan istrinya di padang gersang demi ketaatan kepada Allah.

Kepergian Nabi Ibrahim bukan sekadar peristiwa historis, tetapi simbol melakukan pengorbanan, semata-mata demi kepatuhan spiritual, sebagai pemahaman asal-usul tujuan akhir manusia.

Pun demikian, Nabi Ibrahim tidak mengklaim kepemilikan atas anaknya, Nabi Ismail. Sadar bahwa semua yang ada hanyalah amanah.

Ajaran demikian tergambar dalam karya klasik, Serat Wedhatama, KGPAA Mangkunegara IV menulis bahwa sejatinya hidup adalah tirakat, pengendalian diri dan batin, agar manusia tidak terperangkap oleh hawa nafsu (angkara murka).

Maka, dalam semangat Idul Adha, mari kita resapi kembali nilai-nilai spiritualitas Jawa. Misalnya: ngeli tapi ora keli (mengikuti arus tanpa hanyut), tuna sathak bathi sanak (rela rugi materi demi persaudaraan), dan tepa slira (tenggang rasa).

Menjadi manusia seutuhnya adalah bentuk ngerti, ngrasa, dan tumindak akan kesadaran diri. Dimulai ketika seseorang mampu mengenali egonya, lalu perlahan berani menundukkannya. Inilah hakikat pengorbanan yang sejati.

Berkurban bukan sekadar memberi dari yang kita miliki, tetapi ‘menyembelih’ apa yang selama ini membuat kita terikat. Mengajak kita untuk memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam kesederhanaan, berbagi dan hidup penuh kebermanfaatan. Akhirnya, Wallahu A’lam Bishawab.

Tags: Idul AdhaIdul KurbanOpini SeputarMalangSpiritualitas
SendShareShare
Abdillah

Abdillah

Tinggal di Lereng Gunung Kawi Malang, penikmat kopi pahit. Aktivitas sehari-hari sebagai Dosen Universitas Islam Raden Rahmat (Unira) Malang. Motto Hidup: Urip kudu urup!

Related Posts

Wahyu Eko Setiawan/ Sam WES Pendiri Sekolah Pancasila
Opini

Madyopuro Mangano adalah Ruang dan Waktu

by Wahyu Eko Setiawan
10 April 2025
32
Akar Rumput Menjadi Solusi Pembangunan Daerah Kota Malang
Opini

Akar Rumput Menjadi Solusi Pembangunan Daerah Kota Malang

by Andik Candra
13 Maret 2025
61
Puasa sebagai Aktivasi Nyawiji
Opini

Puasa sebagai Aktivasi Nyawiji

by Abdillah
9 April 2024
69
Tantangan
Opini

Dampak Kurikulum Merdeka bagi Pendidikan

by Kontributor
4 Oktober 2023
3.6k
Pramuka Day
Opini

Hari Pramuka: Menyemai Benih Kepemimpinan Masa Depan

by Syahiduz Zaman
14 Agustus 2023
86

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terbaru

Bupati Malang Arahkan MoU Budaya antara MAS dengan KEK Singhasari: Dorong Singosari Jadi Kawasan Pariwisata Budaya Nasional

Bupati Malang Arahkan MoU Budaya antara MAS dengan KEK Singhasari: Dorong Singosari Jadi Kawasan Pariwisata Budaya Nasional

11 Juni 2025
8
Puasa sebagai Aktivasi Nyawiji

Menyembelih Ego: Spiritualitas Kurban dalam Lelaku Jawa

6 Juni 2025
20
Dok Istimewa: Dr. Bustomi

Unmer Malang Lahirkan Doktoral Baru di Bidang Pesantren

5 Juni 2025
8
SMA HelloMotion Malang Adakan Creative Class untuk Kenalkan Penggunaan Gawai Secara Produktif

SMA HelloMotion Malang Adakan Creative Class untuk Kenalkan Penggunaan Gawai Secara Produktif

24 Mei 2025
41
KEK Singhasari Siap Gelar Liga Santri Mini Soccer Antar Ponpes se-Kecamatan Singosari dalam Rangkaian Event Santri Fest 2025

KEK Singhasari Siap Gelar Liga Santri Mini Soccer Antar Ponpes se-Kecamatan Singosari dalam Rangkaian Event Santri Fest 2025

5 Mei 2025
19

Browse by Category

  • Agenda Even
  • Agenda Kampus
  • Agenda Sekolah
  • Balaikota
  • Batu
  • Berita Kampus
  • Berita Sekolah
  • Bisnis
  • Blok
  • Blok Premium A
  • Blok Slider
  • Ekonomi
  • Hotel dan Resto
  • Jatim
  • Kab Malang
  • Kawan PMI
  • Kota Malang
  • Lifestyle
  • MCC
  • Nahdlatul Ulama
  • Nasional
  • Objek Wisata
  • Opini
  • Organisasi & Komunitas
  • Pekerja Migran Indonesia
  • Pelayanan Publik
  • Pendidikan
  • Pendopo
  • Perbankan
  • Pilihan Redaksi
  • Properti
  • Seni Budaya
  • Seputar Halokes
  • Seputar Inklusi
  • Seputar Kampus
  • Sosial
  • Sosok
  • Sports
  • Travel
  • Wisata
  • World
Seputar Malang

Situs Informasi dan Berita Seputar Malang Raya

© 2022 Seputar Malang - Mengawal Bhumi Arema

No Result
View All Result
  • Home

© 2022 Seputar Malang - Mengawal Bhumi Arema