SeputarMalang.Com – Hari Kebangkitan Nasional Bangsa Indonesia, diambil sejarahnya dari pendirian Boedi Utomo. Organisasi ini pada awalnya merupakan gagasan dari dr. Wahidin Soedirohusodo, yang pada saat itu mengunjungi Sekolah Kedokteran STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen). Di STOVIA, dr. Wahidin Soedirohusodo bertemu dengan dr. Soetomo, Soeradji Tirtonegoro dan Goenawan Mangoenkoesoemo. Tiga orang tersebut kemudian berkumpul bersama Mochamad Saleh, Mohammad Soelaiman, Gondo Soewarno, Raden Angka Prodjosoedirdjo, Raden Mas Goembrek dan Soewarno. Semuanya tercatat sebagai para pendiri Boedi Utomo. Namun demikian, yang paling mempengaruhi kecermelangan organisasi Budi Utomo adalah kehadiran dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, yang kemudian lebih dikenal dengan nama: dr. Tjipto.
Dalam berbagai catatan pribadinya, bahkan dr. Soetomo sangat mengagumi kecermelangan pemikiran dr. Tjipto. Menurut dr. Soetomo, bahwa dr. Tjipto lah yang menjadi tokoh utama dalam pergerakan Kebangkitan Nasional. Ada lima tokoh utama pergerakan Kebangkitan Nasional yang kita kenal, yaitu: (1) dr. Soetomo; (2) dr. Wahidin Soedirohoesodo; (3) RM. Soewardi Soerjaningrat; (4) Dr. Douwes Dekker; dan (5) dr. Tjipto. Pergerakan Kebangkitan Nasional yang mereka gerakan dimulai tahun 1900 an. Kemudian mendapatkan titik awalnya dengan berdirinya Perkumpulan Boedi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Meskipun dr. Tjipto membawa pengaruh pemikiran Nasionalisme yang sangat besar di dalam Perkumpulan Boedi Utomo, namun telah disepakati bahwa yang disebut sebagai Bapak Kebangkitan Nasional adalah: dr. Wahidin Soedirohoesodo. Karena memang gagasan awal berdirinya Boedi Utomo adalah berasal dari dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Sedangkan dr. Tjipto lebih dikenal sebagai Bapak Pergerakan Kemerdekaan Indonesia. Beliau dikenal sebagai Tiga Serangkai bersama Dr. Douwes Dekker dan RM. Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar Dewantara). Tiga Serangkai inilah yang setia, teguh dan konsisten memperjuangkan pemikiran pemerintahan sendiri atau kemerdekaan seluruh Bangsa Indonesia. Yang saat itu belum tercetus nama “Indonesia”, yang ada adalah nama “Hindia Belanda”. Tiga Serangkai tersebut mendirikan organisasi Indische Partij. Yaitu suatu organisasi politik yang pertama kali mencetuskan ide pemerintahan sendiri yang berdaulat dan merdeka. Melawan pemerintahan Belanda. Dalam melawan pemerintahan Belanda, Tiga Serangkai menggunakan senjatanya yang paling ampuh, yaitu: Tulisan Pemikiran. Yang banyak dimuat dalam beberapa bentuk, yaitu: Harian de Express, Majalah het Tijdschrift, Majalah De Indier, Majalah Indsulinde, Majalah Goentoer Bergerak, Harian De Beweging, Harian Madjapahit dan Surat Kabar Pahlawan.
Lantas, apa hubungan dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dengan Kota Malang? Singkatnya, dr. Tjipto dilahirkan pada tanggal 4 Maret 1886, di desa Pecangakan, Jepara, Karesidenan Semarang. Pada saat terjadi wabah Pes (Sampar) yang dahsyat melanda Jawa Timur, yaitu mulai tahun 1910 – 1916, yang paling mengerikan adalah di wilayah Malang Raya, khususnya di Kota Malang. Pada saat itu, digambarkan kondisinya sangat mengerikan karena banyaknya orang yang meninggal dunia di Kota Malang. Jumlahnya mencapai puluhan ribu. Hingga ada unen-unen, “Isuk lara, bengi mati. Bengi lara, isuk mati.” Setiap harinya, puluhan hingga ratusan orang meninggal dunia. Para dokter Belanda sangat diskrimintif, mereka tidak mau melayani dan merawat kaum pribumi. Para Priyayi dan pejabat di Kota Malang, sama sekali tidak mau menolong rakyat kecil yang sangat menderita sakit dan kelaparan akibat wabah Pes/ Sampar.
Tjipto sangat geram dengan perlakuan para dokter Belanda, para priyayi dan para pejabat di Kota Malang. Mereka semuanya sangat feodal, tidak berperi kemanusiaan dan hanya mementingkan dirinya sendiri. Kemudian, dr. Tjipto mendaftarkan diri secara sukarela untuk datang ke Kota Malang, demi untuk membantu para korban pandemi Pes/ Sampar yang sedang sangat mengganas di Kota Malang. Permintaan itu dikabulkan oleh pemerintahan Belanda. Kehadiran dr. Tjipto di Kota Malang merupakan berkah bagi seluruh warga Kota Malang pada saat itu. Tidak segan-segan, dr. Tjipto langsung datang berkeliling ke seluruh daerah di Kota Malang. Mengobati pasien Pes, bahkan tanpa masker atau penutup hidung sama sekali. Berhadapan dengan para pasien Pes, dr. Tjipto menunjukkan sifat budi perketi luhurnya. Dia menangani pasien Pes dengan penuh welas asih, rasa kemanusiaan dan berdedikasi tinggi. Padahal, di kalangan kaum Pergerakan Nasional, selama ini dr. Tjipto dikenal sebagai sosok yang keras, lugas, tegas dan bahkan radikal dalam perilaku serta pemikirannya.
Selama di Kota Malang menangani puluhan ribu pasien Pes, dr. Tjipto dibantu oleh para relawan yang berasal dari Pribumi dan Tionghoa. Ada tiga nama yang pernah disebutkan, yaitu Bambang yang diperkirakan berasal dari warga Tjelaket, Broto yang diperkirakan berasal dari warga Bedali dan Tarji yang diperkirakan berasal dari warga Pakisaji. Namun, ketiga nama tersebut kalah tenar dengan satu nama, yaitu: Pestiati. Nama Pestiati melekat saat membahas perjuangan dr. Tjipto selama berada di Kota Malang menangani wabah Pes. Pestiati adalah nama seorang anak yang diberikan oleh dr. Tjipto, ketika menemukannya di antara kobaran api yang melahap sebuah rumah terbakar. Pada saat itu, warga percaya dengan membakar rumah yang isinya terpapar habis meninggal dunia akibat wabah Pes, maka wabah Pes tidak akan menyebar ke lingkungan sekitar. Ketika rumah tersebut dibakar, terdengar tangisan seorang anak di dalamnya. Tanpa berpikir panjang, dr. Tjipto masuk ke dalam rumah yang sedang terbakar api berkobar-kobar tersebut. Kemudian, dr. Tjipto menyelamatkan anak tersebut. Gadis mungil tersebut diangkat menjadi anaknya dr. Tjipto, yang kemudian diberi nama Pesiati.
Keberanian, dedikasi dan pengorbanan dr. Tjipto selama menangani korban wabah Pes di Kota Malang, kemudian mendapatkan penghargaan bintang jasa Orde Nassau atau Ridder in de orde der Nederlandsche Leuw, yang diberikan oleh Ratu Wilhelmia pada tahun 1912. Namun kemudian penghargaan tersebut dikembalikan oleh dr. Tjipto, karena dr. Tjipto terus melawan pemerintahan Belanda. Bahkan konon ceritanya, penghargaan tersebut pernah ditaruh di pantatnya, sebagai bentuk protes terhadap feodalisme dan perlawanan atas kesombongan para priyayi serta pejabat pribumi yang menindas rakyat kecil.
Kemudian, dr. Tjipto bersama Tiga Serangkai, diasingkan ke beberapa daerah di Indonesia. Namun demikian, dr. Tjipto tetap melakukan perlawanan terhadap pemerintah Belanda. Pada beberapa kesempatan, dr. Tjipto selalu mengutarakan pentingnya persatuan dan kesatuan seluruh rakyat untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan. Dr. Tjipto lah yang menyerukan inspirasi persatuan dan kesatuan dari Jong Java, Jong Celebes, Jong Borneo, Jong Sumatra dan lain-lainnya. Agar mampu membentuk kekuatan untuk mendirikan pemerintahan sendiri dan merdeka. Hingga akhir hayatnya, di dalam pengasingan dirinya oleh pemerintah Belanda, dr. Tjipto disodori sebuah perjanjian agar bisa pulang kembali ke Jawa. Syarat utama dari perjanjian tersebut adalah dr. Tjipto harus meninggalkan hak politiknya dan tidak lagi menyuarakan pemikirannya untuk pemerintahan sendiri dan merdeka. Namun, perjanjian itu langsung dirobek-robek di hadapan para jenderal dan pejabatnya. Lantas dr. Tjipto mengatakan dengan tegas, “Lebih baik saya mati di pengasingan, di Banda, daripada saya harus melepaskan hak politik dan mengubur cita-cita kemerdekaan!”
Sampai akhir hayatnya, dr. Tjipto terus melawan pemerintah Belanda, keras kepada para priyayi yang berperilaku feodal dan selalu berani melawan siapa saja yang menginjak-injak penderitaan rakyat jelata. Akibat penyakit asma yang kronis, dr. Tjipto Mangunkoesoemo menghembuskan nafas terakhir, meninggal dunia pada tanggal 8 Maret 1943. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Ambarawa, Semarang, Jawa Tengah. Menurut catatan dr. Soetomo, suatu saat dr. Tjipto pernah mengatakan bahwa ketika Beliau meninggal dunia, Beliau ingin disemayamkan bersama rakyat jelata di sebuah pemakaman yang berlokasi di Kota Malang. Namun wasiat tersebut tidak bisa dilaksanakan pada akhirnya.
Meskipun tidak dilahirkan di Kota Malang, dan hanya sebentar mengabdi di Kota Malang untuk menangani pasien wabah Pes, ternyata rasa cinta dr. Tjipto kepada Kota Malang begitu sangat besar dan mendalam. Seperti kecintaan dan kasih sayangnya kepada seluruh rakyat jelata yang dilayaninya dengan sepenuh hati sebagai seorang dokter. Pengabdiannya kepada rakyat jelata, serta perjuangan dan pengorbanannya untuk meraih cita-cita Kemerdekaan, begitu sangat luar biasa besarnya. Hingga akhir hayatnya, tunai sudah janji bhakti.
Mari merayakan dan menyambut Bulan Kebangkitan (20 Mei 2023) ini, di Kota Malang dengan mengenang, menghayati dan Belajar Mencintai Kota Malang dari dr. Tjipto!