SeputarMalang.Com – Keluhuran budaya Jawa mempunyai keyakinan sangat kuat perihal kepemimpinan. Bahwa seorang pemimpin yang telah berhasil naik tahta (jabatan/ kekuasaan) adalah orang-orang yang terpilih atas Takdir Tuhan Yang Maha Kuasa. Sesuai dengan situasi, kondisi dan tantangan jamannya masing-masing. Ada dimensi kekuatan alam semesta yang mendukungnya untuk menjadi Pemimpin. Itulah kenapa sebanyak apa pun harta yang dimiliki oleh seseorang, belum tentu bisa menjadikannya sebagai seorang Pemimpin (Penguasa). Juga sepintar dan sehebat apa pun seseorang, bahkan mempunyai banyak kesaktian diri, jika alam semesta tidak menghendaki, serta Takdir Tuhan Yang Maha Kuasa tidak merestui, maka dia tidak akan pernah terpilih menjadi seorang Pemimpin.
Maka, dalam keluhuran budaya Jawa, kepemimpinan bukan hanya soal perebutan kekuasaan. Dan kekuasaan bukan hanya soal menang-menangan. Ada unsur-unsur etika kebajikan, nilai-nilai keluhuran dan norma-norma kearifan yang mempunyai keagungan serta kesakralan khusus. Sistem demokrasi yang kita anut saat ini, telah banyak meninggalkan segi-segi keluhuran budaya Jawa tersebut. Seolah-olah, dengan sistem demokrasi yang kita anut saat ini, menjadi pemimpin hanya sekedar urusan adu kekuatan, menang-menangan lobi politik dan memberi karpet merah terhadap pemuasan nafsu syahwat berkuasa belaka.

Celakanya, budaya untuk saling menghormati, mengapresiasi dan menjaga martabat manusia, semakin hilang tergerus arus saling menjatuhkan, merendahkan dan bahkan menghinakan. Akankah hal-hal seperti itu yang akan terus kita lestarikan? Kebejatan dan kesesatan seperti itu yang akan terus menerus kita wariskan pada generasi yang akan datang? Semoga tidak!
Jika kita banyak membaca berbagai sejarah Para Pemimpin, pada zaman apa pun dan era sejarah apa pun, pasti mempunyai pendukung dan penentang. Pasti selalu ada pro dan kontra. Hal itu sangat wajar. Alamiah. Sunatullah. Selalu ada celah dan ruang untuk saling berbeda pemikiran, pandangan, kepentingan dan keyakinan. Tidak ada yang benar-benar sempurna di seluruh alam semesta ini, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Apalagi manusia, yang pasti mempunyai kesalahan, kekurangan dan kekhilafan. Namun justru karena semuanya itu, manusia diberikan akal dan budi pekerti, untuk terus berkembang membangun kehidupan dan peradabannya. Hingga menjadi manusia yang tercerahkan.
Kita banyak menjumpai orang-orang yang bisa lepas landas dengan baik, bahkan sangat fenomenal ketika berusaha naik menjadi pemimpin. Tetapi banyak yang gagal mendarat atau turun dengan mulus, ketika masa kepemimpinannya sudah habis. Banyak yang jatuhnya terjerembat dan tersungkur dalam kehinaan dan nista. Itulah kenapa kita bisa memahami bahwa puncak keberhasilan seorang pemimpin justru terlihat saat dirinya turun tahta. Bagaimana seorang pemimpin mampu menapaki jalan LENGSER KEPRABON? Apakah dengan sebaik-baiknya dan penuh kemuliaan? Yang dikenang sepanjang masa, dan tertulis dengan tinta emas dalam sejarah umat manusia. Ataukah justru turun jatuh dengan terjerembat dan tersungkur dalam kehinaan dan nista?
Pada tahun 2023 ini, di Kota Malang kita akan menyaksikan fenomena Lengser Keprabon dari Kepemimpinan Walikota Malang, yang akan berakhir pada tanggal 24 September 2023. Ya, sekitar 50 hari lagi. Bagaimanakah fenomena Lengser Keprabon yang akan dijalani oleh Walikota Malang dan Wakil Walikota Malang nanti pada tanggal 24 September 2023 nanti? Sangat menarik untuk kita tunggu bersama, sebagai bahan pelajaran, pengetahuan dan sumber inspirasi untuk membangun masa depan. Mengingat, pada periode Walikota Malang sebelumnya (2013 – 2018), fenomena Lengser Keprabon di Kota Malang direnggut oleh Penangkapan Walikota Malang saat itu oleh KPK, yang terseret gelombang Tsunami Politik di Kota Malang. Menjadikan peristiwa tersebut sebagai catatan kelam bagi sejarah Kota Malang.
Mentradisikan Lengser Keprabon di Kota Malang, yang disertai dengan unsur-unsur etika kebajikan, nilai-nilai keluhuran dan norma-norma kearifan yang mempunyai keagungan serta kesakralan khusus, tentu bisa kita mulai bersama-sama. Sebuah inisiatif untuk mentradisikan budaya “Rakyat Mengantar & Rakyat Menjemput” Pemimpinnya (Walikota & Wakil Walikota Malang), yang telah mengabdikan dirinya untuk memimpin dan membangun Kota Malang. Terlepas dari berbagai sudut pro dan kontra, tentu membangun tradisi dan budaya untuk saling berterima kasih, mengapresiasi, menghormati dan menjaga nilai-nilai keyakinan yang berbudi luhur, harus terus kita bangun serta kembangkan bersama-sama. Agar masa depan yang hendak kita bangun bersama-sama, dipenuhi dengan kehormatan, kemuliaan, kebajikan dan kebijaksanaan. Semoga kita bisa membangunnya. Dan ini sangat dibutuhkan kesadaran terdalam di dalam diri kita masing-masing.