SeputarMalang.Com – Pemilu 2024 yang sebentar lagi dihelat, akan menjadi tonggak sejarah yang aneh bagi bangsa Indonesia. Ini terjadi karena kuatnya polarisasi selama dua periode sebelumnya. Proses demokrasi yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat, justru membawa kita pada perdebatan filsafat yang lebih dalam. Dalam pemikiran literalisme, saya menggambarkan betapa kompleksnya dampak pemilu yang akan datang, tidak hanya dalam ranah materialisme dan idealisme, tetapi juga pada suatu tataran yang irrasional.
Materialisme dan idealisme selama ini menjadi dua kacamata utama dalam melihat realitas politik. Materialisme mengacu pada pandangan bahwa segala sesuatu dipengaruhi oleh aspek materi dan ekonomi, sementara idealisme lebih menekankan pada kekuatan ide dan gagasan. Namun, Pemilu 2024 yang akan datang menunjukkan bahwa kedua paradigma ini tidak lagi mencukupi untuk menjelaskan fenomena yang terjadi. Maka, perlu adanya kacamata ketiga, yaitu vitalisme, yang mengakui adanya aspek irrasional dalam realitas politik.
Fenomena irrasional yang dimaksud tidak bisa dilihat sebagai tumbal (victimization) semata. Ada kemungkinan bahwa fenomena ini merupakan turunan dari korban (victim), yang jelas memiliki dampak yang mengerikan. Pemikiran literal saya, mengidentifikasi tiga turunan dari korban, yaitu pengorbanan (sacrifice), korban dari kesalahan (spacegoat), dan pembantaian (hecatomb). Atau, mungkin saja fenomena ini merupakan proses victimization, yaitu tumbal. Tentunya, hanya Tuhan yang tahu jawaban pastinya.
Dalam konteks Pemilu 2024, pengorbanan bisa diartikan sebagai tindakan yang dilakukan demi mencapai tujuan politik tertentu, seperti pencalonan, pemenangan, atau bahkan penggulingan. Korban dari kesalahan menggambarkan situasi di mana seseorang menjadi korban akibat kesalahan yang dilakukan oleh pihak lain, seperti manipulasi suara atau penyebaran fitnah. Sementara itu, pembantaian mencerminkan aksi kekerasan fisik atau psikologis yang terjadi sepanjang pemilu, seperti terorisme, intimidasi, dan ancaman.
Ketiga turunan korban ini menunjukkan bahwa pemilu telah menciptakan dampak yang jauh lebih luas dan mendalam dari yang kita sadari. Dalam menghadapi fenomena irrasional ini, kita perlu melampaui batasan materialisme dan idealisme. Kita harus mencari pemahaman yang lebih komprehensif tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan bagaimana kita bisa menangani dampak negatifnya.
Salah satu cara untuk mengatasi fenomena irrasional ini adalah dengan memperkuat sistem demokrasi kita. Kita perlu memastikan bahwa mekanisme pemilu dapat berjalan dengan adil dan transparan, serta mencegah manipulasi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, kita juga harus menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi proses demokrasi yang sehat dan inklusif.
Kita juga perlu meningkatkan kualitas pendidikan politik bagi masyarakat. Pemahaman yang baik tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara, serta mekanisme politik yang berlaku, akan membantu masyarakat untuk lebih bijaksana dalam mengambil keputusan politik. Pendidikan politik yang baik akan memberikan dasar yang kuat bagi masyarakat untuk menghadapi fenomena irrasional dalam politik dan mencegah terjadinya polarisasi yang merugikan.
Selain itu, peran media massa dalam menyampaikan informasi yang akurat dan seimbang sangat penting dalam menangani fenomena irrasional. Media harus mampu menjaga integritasnya dalam memberikan informasi, sehingga masyarakat dapat memiliki pandangan yang lebih objektif tentang realitas politik yang ada. Dengan demikian, media massa dapat menjadi instrumen yang efektif dalam mencegah penyebaran hoaks, fitnah, dan isu negatif lainnya.
Kesimpulan
Penting bagi kita untuk senantiasa menjaga sikap kritis dan terbuka dalam menyikapi berbagai isu politik. Kita perlu saling menghargai perbedaan pandangan dan menyadari bahwa politik tidak melulu tentang menang dan kalah. Keberagaman pendapat dan gagasan merupakan aspek penting dalam proses demokrasi, yang justru dapat menjadi kekuatan kita dalam menghadapi fenomena irrasional.
Dalam menghadapi Pemilu 2024 yang disinyalir akan dipenuhi fenomena irrasional, kita harus bersatu dan bekerja sama untuk mengatasi dampak negatifnya. Kita harus melampaui batasan materialisme dan idealisme, serta mengembangkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang realitas politik. Hanya dengan begitu, kita dapat membangun masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia.
Dalam menghadapi tantangan ini, kita harus mengingat bahwa Indonesia adalah negara yang plural dan multikultural, dengan keberagaman yang menjadi kekuatan kita. Melalui toleransi, keadilan, dan kebersamaan, kita dapat mengatasi fenomena irrasional dalam politik dan memastikan bahwa proses demokrasi kita tetap sehat dan inklusif untuk seluruh rakyat Indonesia. Wallahu a’lam.