SeputarMalang.Com – Perkembangan teknologi digital telah mengubah lanskap industri perbukuan di Indonesia dengan cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, kita telah menyaksikan penurunan permintaan buku cetak dan penutupan toko buku yang telah menjadi bagian dari kehidupan budaya kita. Keputusan untuk menutup Toko Buku Gunung Agung, salah satu jaringan toko buku terbesar di Indonesia, adalah cerminan dari perubahan paradigma dalam cara kita mengakses dan memperoleh informasi. Namun, kehilangan buku cetak ini juga menimbulkan kontroversi dan tantangan yang perlu kita hadapi sebagai masyarakat.
Pertama-tama, penting untuk menyadari implikasi hilangnya buku cetak dalam praktik pendidikan di Indonesia. Dalam era digital ini, kemampuan untuk mengakses buku secara daring telah menggantikan ketergantungan pada buku cetak. Sementara itu, muncul pertanyaan apakah perpustakaan sekolah dan universitas masih relevan dalam menyediakan koleksi buku cetak. Namun, kita harus berhati-hati agar tidak mengabaikan manfaat yang diberikan oleh buku cetak dalam membantu perkembangan keterampilan membaca, pemahaman, dan kritis berpikir. Kita harus memastikan bahwa akses terhadap buku cetak tetap tersedia untuk semua kalangan masyarakat, terutama mereka yang tidak memiliki akses internet atau perangkat elektronik.

Selain itu, peran pemerintah dalam merancang sistem perbukuan berbasis digital menjadi sorotan kontroversial. Undang-undang No 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan mengatur pengadaan buku murah, bermutu, dan merata. Namun, dengan kemajuan teknologi, buku dapat dengan mudah diakses secara gratis melalui internet. Pertanyaannya adalah apakah pemerintah telah merancang kebijakan yang tepat untuk menghadapi perubahan ini dan apakah mereka telah mempertimbangkan implikasi sosial, ekonomi, dan pendidikan dari hilangnya buku cetak. Perlu ada kajian mendalam dan dialog antara pemerintah, penerbit, dan masyarakat agar kebijakan yang diambil dapat mencerminkan kebutuhan dan aspirasi semua pihak.
Perubahan dalam pola produksi buku juga menjadi isu kontroversial. Percetakan digital memberikan fleksibilitas dan efisiensi dalam mencetak buku, sehingga pengarang dapat menerbitkan buku dan memasarkannya secara mandiri. Namun, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kontrol mutu, distribusi, dan perlindungan hak cipta. Kita harus memastikan bahwa buku yang diproduksi secara independen memenuhi standar kualitas dan mendapatkan perlindungan hukum yang cukup.
Dalam era digital ini, informasi dapat dengan mudah diakses dan dikonsumsi oleh masyarakat. Namun, hal ini juga membawa tantangan baru dalam hal keberagaman dan kualitas informasi.
Kita harus mewaspadai bahwa tidak semua informasi yang tersedia secara daring dapat dianggap akurat atau bermutu. Literasi informasi dan keterampilan pemahaman kritis menjadi sangat penting dalam menghadapi tantangan ini. Kita harus terus mendorong literasi perbukuan, baik dalam bentuk buku cetak maupun buku elektronik, untuk memastikan masyarakat memiliki akses yang seimbang terhadap informasi yang bermutu.
Terakhir, buku sebagai karya ilmiah dan pengembangan karier akademisi menjadi kontroversial dalam konteks ini. Penerbitan buku oleh dosen tidak lagi menjadi faktor penentu dalam penilaian akademik. Prioritas diberikan pada penerbitan artikel di jurnal internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah penerbitan buku masih dianggap penting dalam mengembangkan pengetahuan dan kontribusi akademik. Kita harus mempertimbangkan kembali bagaimana kita menilai dan menghargai karya-karya akademik, termasuk buku, dalam upaya membangun komunitas ilmiah yang inklusif dan beragam.
Dalam menghadapi kontroversi ini, penting bagi kita untuk tetap mempertahankan nilai-nilai budaya literasi dan keberagaman dalam akses terhadap informasi. Kita perlu mencari keseimbangan antara kemajuan teknologi dan keberlanjutan industri perbukuan. Keberagaman format, fleksibilitas dalam distribusi, dan perlindungan hak cipta yang tepat perlu menjadi fokus perhatian kita. Dalam upaya menjaga buku cetak tetap relevan, kita juga harus memanfaatkan keuntungan yang ditawarkan oleh teknologi digital untuk mengembangkan buku elektronik yang interaktif dan mendukung pembelajaran yang inovatif.
Kesimpulan
Hilangnya buku cetak dalam era digital membawa tantangan dan kontroversi yang harus kita hadapi sebagai masyarakat. Perlu ada dialog terbuka dan kolaborasi antara pemerintah, penerbit, akademisi, dan masyarakat dalam merancang solusi yang tepat dan berkelanjutan. Kita harus menjaga keberagaman format, mempromosikan literasi informasi, dan mempertahankan keberlanjutan budaya literasi dalam upaya memastikan akses yang adil terhadap pengetahuan dan informasi bagi semua kalangan masyarakat.