SeputarMalang.Com – Tanggal 3 Mei diperingati sebagai Hari Kebebasan Pers Sedunia, sebuah momen penting untuk merenungkan bagaimana kebebasan pers dan berekspresi menjadi pondasi dalam upaya perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia. Tema Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023, “Mewujudkan Masa Depan Hak Asasi: Kebebasan Berekspresi sebagai Penggerak untuk Semua Hak Asasi Manusia Lainnya,” mengingatkan kita bahwa kebebasan berekspresi merupakan hak asasi yang mendasar dan menjadi pendorong bagi pemajuan hak asasi manusia lainnya.

Kebebasan pers memungkinkan wartawan dan media untuk melaporkan kebenaran dan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran hak asasi manusia tanpa rasa takut akan ancaman atau hukuman. Dalam sistem demokrasi yang sehat, pers yang bebas dan independen berfungsi sebagai pengawas dan penyeimbang kekuasaan, memastikan bahwa pemerintah dan lembaga publik dapat diawasi oleh masyarakat dan bertanggung jawab atas tindakan mereka.
Media juga memiliki peran penting di masyarakat dalam membentuk pengetahuan, persepsi, sikap dan perilaku masyarakat. Media massa merupakan agen sosialisasi (penyebaran nilai-nilai) memainkan peranan penting dalam transmisi sikap (behaviour), pikiran (cognitifve) dan hubungan (interaksional), demikian yang dijelaskan dalam buku “Nuansa-Nuasa Komunikasi: Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer (2001)” karya Deddy Mulyana, guru besar ilmu komunikasi Universitas Padjajaran.
Kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia masih dihadapkan pada tantangan berupa sensor dan represi. Kita harus terus berjuang melawan berbagai bentuk tekanan dan intimidasi yang dapat mengancam kebebasan berekspresi dan menjaga demokrasi serta hak asasi manusia di Indonesia. Dalam menghadapi tantangan ini, kita harus memastikan bahwa pers dapat menjalankan perannya dengan aman dan efektif, serta melibatkan berbagai pihak untuk mendukung kebebasan berekspresi dan memperjuangkan nilai-nilai demokrasi yang kita cintai.
Indonesia telah menjalani perjalanan yang panjang dalam memperjuangkan kebebasan pers dan demokrasi. Sejak era reformasi pada akhir 1990-an, kita telah menyaksikan bagaimana kebebasan pers berkembang pesat dan berkontribusi pada penguatan demokrasi dan perlindungan hak asasi manusia. Kebebasan pers yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari perjuangan dan pengorbanan para wartawan dan aktivis yang tidak gentar menghadapi tekanan dan intimidasi.
Perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia belum selesai. Meski kita telah meraih kemajuan yang signifikan, tetap ada ancaman terhadap kebebasan pers dan berekspresi, baik dari pemerintah maupun aktor non-negara. Sensor dan represi masih menjadi ancaman nyata bagi wartawan dan media yang mencoba melaporkan kebenaran dan mengungkap penyalahgunaan kekuasaan serta pelanggaran hak asasi manusia.
Salah satu bentuk sensor dan represi yang dihadapi oleh wartawan di Indonesia adalah intimidasi dan kekerasan. Menurut data dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), jumlah kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia masih cukup tinggi, mencerminkan adanya tantangan serius terhadap kebebasan pers. Wartawan yang melaporkan kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau pelanggaran hak asasi manusia seringkali menjadi sasaran ancaman, intimidasi, dan bahkan kekerasan fisik. Data dari AJI menunjukkan bahwa sejak 2006, terdapat 848 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan persentase tertinggi terjadi pada 2020. Kekerasan tersebut meliputi 258 kasus kekerasan fisik, 92 kasus pelarangan atau pengusiran saat liputan, 77 kasus ancaman teror, 58 kasus perusakan peralatan dan data hasil liputan, serta 41 ancaman kekerasan.
AJI telah mengumpulkan dan menganalisis data kekerasan terhadap jurnalis selama 2021, yang diperoleh dari pemantauan harian di 40 kota mulai dari Aceh hingga Papua. Hasil analisis ini diungkapkan pada catatan akhir tahun AJI pada 29 Desember 2021 di Jakarta. Data menunjukkan bahwa dari 1 Januari hingga 25 Desember 2021, tercatat 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis, dengan teror dan intimidasi menjadi jenis kekerasan paling umum (9 kasus), diikuti kekerasan fisik dan pelarangan liputan (masing-masing 7 kasus). Sekretaris Jenderal AJI, Ika Ningtyas, juga mencatat bahwa terdapat 5 kasus serangan digital, 5 kasus ancaman, serta 4 kasus penuntutan hukum, baik pidana maupun perdata.
Selain itu, ada juga ancaman sensor dan represi melalui perundang-undangan yang menghambat kebebasan pers dan berekspresi. Undang-undang seperti Undang-Undang ITE kerap disalahgunakan untuk menargetkan wartawan, aktivis, dan warga sipil yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau penguasa. Meskipun telah ada revisi terhadap Undang-Undang ITE, tetap ada kekhawatiran bahwa undang-undang ini dapat digunakan sebagai alat untuk mengekang kebebasan berekspresi dan pers.
Dalam menghadapi tantangan ini, perjuangan untuk kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, media, masyarakat sipil, dan individu. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil dalam upaya melindungi kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia:
(1) Pemerintah harus mengambil tindakan tegas terhadap pelaku kekerasan dan intimidasi terhadap wartawan serta memastikan bahwa kasus-kasus serupa diinvestigasi secara menyeluruh dan transparan. Hal ini akan menciptakan lingkungan yang aman bagi wartawan untuk melaksanakan tugas mereka tanpa rasa takut.
(2) Pemerintah juga perlu merevisi perundang-undangan yang dapat menghambat kebebasan pers dan berekspresi, seperti Undang-Undang ITE. Revisi ini harus memastikan bahwa undang-undang tidak dapat disalahgunakan untuk mengekang kebebasan berekspresi dan menargetkan wartawan, aktivis, dan warga sipil yang menyampaikan kritik.
(3) Media dan jurnalis harus berkomitmen untuk melaporkan kebenaran dan menjaga etika jurnalisme, serta bersatu dalam menghadapi tantangan dan ancaman terhadap kebebasan pers. Kerja sama antar media dan organisasi jurnalis, seperti AJI, sangat penting untuk melindungi kebebasan pers dan berekspresi.
(4) Masyarakat sipil dan individu memiliki peran penting dalam mendukung kebebasan pers dan berekspresi. Dengan menjadi konsumen informasi yang kritis, masyarakat dapat membantu memastikan bahwa media yang berkomitmen untuk menyampaikan berita yang akurat dan tidak bias mendapat dukungan. Selain itu, masyarakat harus bersuara dan mendukung kebebasan pers ketika hak ini terancam.
(5) Kerja sama antar negara di tingkat internasional juga penting dalam memperkuat kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia. Dukungan dan tekanan dari komunitas internasional dapat membantu memastikan bahwa pemerintah Indonesia menjaga komitmennya untuk melindungi kebebasan pers dan berekspresi.
Perjuangan untuk kebebasan pers dan berekspresi di Indonesia adalah perjuangan untuk demokrasi dan hak asasi manusia. Sebagai pilar penting dalam sebuah sistem demokrasi, kebebasan pers memungkinkan masyarakat untuk mengakses informasi yang akurat dan transparan, serta berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Kebebasan berekspresi, di sisi lain, memberi individu kesempatan untuk menyampaikan pendapat dan kritik tanpa takut akan pembatasan atau hukuman. Keduanya merupakan hak asasi yang saling terkait dan saling memperkuat, sehingga memajukan hak asasi manusia secara keseluruhan.
Melalui upaya bersama dan komitmen dari semua pihak, kita dapat mengatasi sensor dan represi serta memastikan bahwa kebebasan pers dan berekspresi tetap menjadi pondasi bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia di Indonesia. Pemerintah, media, masyarakat sipil, dan individu harus bekerja sama dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kebebasan pers dan berekspresi. Dengan menjaga integritas dan profesionalisme dalam jurnalisme, serta melindungi hak-hak jurnalis dan individu untuk menyampaikan pendapat, kita akan mengembangkan demokrasi yang sehat dan inklusif.
Kita dapat melihat kebijaksanaan yang ditawarkan oleh tokoh penting dalam dunia pers di Indonesia. Mantan Ketua Dewan Pers (2010-2016), Bagir Manan, saat meluncurkan buku berjudul “Problematika Pers dan Kualitas Demokrasi” di Gedung Dewan Pers, Jakarta pada tanggal 15 November 2022. Dalam bukunya, Bagir menggarisbawahi bahwa tidak ada pers bebas yang sebebas-bebasnya, dan pers bebas hanya dapat eksis dalam negara dan lingkungan demokrasi yang berpedoman pada hukum yang teguh.
Menurut Bagir, kebebasan pers tidak mengurangi tanggung jawab para jurnalis. Beliau berharap jurnalis di Indonesia tetap berani dan berusaha menghasilkan produk pers dan karya jurnalistik yang intelektual, meskipun intelektualitas sering dibatasi oleh etika. Bagir mengingatkan bahwa “Para pemberani itulah yang menjadi simbol keadilan dan kebenaran,” sebuah pesan yang sangat relevan dalam perjuangan kita untuk menjaga kebebasan pers dan berekspresi sebagai pondasi demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.
Pada Hari Kebebasan Pers Sedunia 2023, marilah kita semua bersatu dalam perjuangan ini dan bekerja sama untuk menciptakan masa depan yang lebih adil, inklusif, dan demokratis untuk rakyat Indonesia. Selama kita terus menghargai dan memperjuangkan kebebasan pers dan berekspresi, kita akan membangun fondasi yang kokoh untuk demokrasi dan hak asasi manusia, serta mewujudkan masyarakat yang sejahtera dan harmonis bagi generasi mendatang.